Berseliweran kabar transaksi QRIS dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12 persen.Â
Ya memang, kenaikan pajak yang bakal diberlakukan tahun depan itu cukup menyedot perhatian masyarakat. Dari kekhawatiran terjadinya kenaikan harga barang, yang bisa berlanjut ke inflasi, hingga pengenaan biaya transaksi QRIS, menghinggapi masyarakat.
Khusus mengenai QRIS, mengutip berbagai pemberitaan, pemerintah menjelaskan bahwa kenaikan dikenakan pada biaya jasa penggunaan uang atau dompet elemtroniknya. Jadi, bukan pada nilai top-up atau transaksi jual-belinya.Â
Benar tidaknya penjelasan itu, bisa dipastikan dari ketentuan tertulisnya yaitu PMK No. 69/PMK.03/ 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa dasar pengenaan pajak meliputi fee, komisi, merchant discount rate, atau imbalan lainnya yang diterima oleh penyelenggara.Â
Tidak ada pasal yang menyebutkan pengenaan pajak karena transaksi atau pembayaran menggunakan QRIS. Kalaupun ada kenaikan harga, itu dikarenakan pajak pertambahan nilai atas barang yang dibeli. Pembayaran dengan cara apapun, misalnya tunai, harga akan tetap naik.
Yang perlu menjadi perhatian, pedagang yang membebankan biaya transaksi kepada pembeli dengan alasan merchant discount rate yang terkena pajak, tetap dilarang sesuai ketentuan dari Bank Indonesia.
Tantangan Komunikasi Kebijakan
Menjadi tantangan tersendiri bagi pembuat kebijakan untuk menyampaikan ketentuannya. Hal itu tidak terlepas dari adanya kebiasaan masyarakat membaca informasi sepotong-potong.Â
Apalagi di era digital sekarang, muncul kecenderungan media menuliskan judul berita yang bersifat bombastis hanya untuk mengejar clickbait. Warganet yang enggan membaca keseluruhan isi berita, sekedar judul, langsung membuat penafsiran sendiri yang belum tentu tepat.Â
Ada pula yang meneruskan berita baru secara cepat sebelum memahami isinya. Beredarnya informasi parsial yang tidak tepat dapat menggiring opini publik yang salah juga. Opini itu bisa mempengaruhi perilaku masyarakat.Â
Kaitannya dengan QRIS, misinterprestasi itu dapat mengganggu kenyamanan penggunanya. Patut diakui, QRIS ini berperan besar mengakselerasi transisi ekonomi konvensional ke digital. Buktinya adalah peningkatan yang cepat jumlah pengguna dan frekuensi penggunaannya, sesuai data Bank Indonesia. Momentum yang baik itu tentunya harus dijaga.
Komunikasi yang tepat adalah kuncinya. Pembuat kebijakan perlu memilih kanal yang paling efektif, cara yang menarik, dan penyampaian secara intensif. Bagaimanapun, kebijakan perpajakan mempunyai tujuan yang baik untuk meningkatkan pendapatan negara. Wajar saja, jika kebijakan semacam itu rentan diperdebatankan. Terutama, masyarakat yang khawatir beban hidupnya akan bertambah.Â
Untuk itulah, pembuat kebijakan perlu terus memantau peredaran informasi sekaligus respons masyarakat. Jika nampak ada penyimpangan, perlu segera diluruskan. Masyarakat pun, termasuk warganet, mesti bijak menyikapi keputusan pemerintah. Tindakan menyebarkan fakta salah, seperti sementara pihak yang memviralkan transaksi QRIS yang terkena pajak, perlu dihentikan.
Tentu, kita semua tidak ingin, kebijakan yang dimaksudkan untuk kebaikan negara justru menghambat laju digitalisasi ekonomi. Yang bagaimanapun juga, digitalisasi ekonomi merupakan salah satu jalan guna memajukan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H