Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Era Serba Automasi dan Isu Tenaga Kerja

16 September 2024   07:45 Diperbarui: 16 September 2024   07:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kotak terletak di dekat mesin kasir toko buku. Di situ tertera keterangan mesin pembayaran otomatis. Cara penggunaannya yaitu pembeli cukup menaruh barang yang dibelinya ke dalam kotak. Dalam sekejap, mesin kotak akan mendeteksi jenis barang sekaligus harganya. Pembeli selanjutnya dapat melakukan pembayaran langsung secara non-tunai di mesin. Sangat praktis, mudah, dan tidak perlu antri di kasir.

Itu satu contoh layanan otomatis dengan mesin. Kita memang sudah memasuki era self-service. Setiap waktu, muncul inovasi yang mengarah pada layanan berbasis teknogi tanpa bantuan manusia. 

Era Automasi

Self-service bukanlah hal baru. Dalam industri keuangan, sekian dekade lalu,  muncul Automatic Teller Machine (ATM). Tarik uang tidak perlu lagi dilayani kasir bank, cukup melalui mesin ATM yang dapat mengeluarkan uang sendiri. Layanan mandiri terus berkembang, sekarang bahkan membuka rekening pun cukup melalui aplikasi.

Seiring perkembangan ekonomi digital, peran manusia dalam pekerjaan yang bersifat repetitif dan tidak memerlukan banyak olah pikir terus diautomasi, dialihkan ke mesin pintar. Yang memerlukan pemikiran manusia pun sebagian mulai bisa dikerjakan machine learning ataupun kecerdasan buatan. Contohnya, analisa profil nasabah yang bisa diproses otomatis oleh aplikasi. Itu hanya contoh automasi dalam sektor keuangan, masih banyak sektor yang lain, seperti manufaktur dan layanan publik.

Automasi sebenarnya merupakan upaya untuk efisiensi. Hal itu nampak dalam setiap tahapan revolusi industri, sejak penggunaan mesin uap, mesin produksi massal, komputerisasi, hingga optimalisasi digitalisasi. Efisiensi dapat meningkatkan produktivitas. Hasilnya, industri mampu memenuhi permintaan pasar yang tinggi. 

Akan tetapi, efisiensi kerap dikorelasikan dengan penghematan penggunaan tenaga kerja. Dampaknya, jumlah sumber daya manusia yang diperkerjakan semakin sedikit. 

Automasipun menjadi riskan ketika diterapkan pada sektor padat karya. Pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar bisa terjadi. Tidak hanya itu, ke depan, penyerapan tenaga kerja mungkin terganggu.

Pekerjaan Masa Depan

Indonesia merupakan negara yang memiliki risiko tinggi terkait pengangguran. Terkait itu, pengangguran masuk dalam ranking 5 besar risiko di negeri ini, sebagaimana kajian Global Risk Report 2024 yang dirilis World Economic Forum ( WEF). 

Lalu, sebanyak 7,20 juta atau 4,82 persen dari total angkatan kerja pada Februari 2024 adalah pengangguran, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS).

Tentu, penyebab dari jutaan pengangguran itu bukan hanya karena transisi teknologi, tetapi juga karena persoalan lainnya. Seperti, terganggunya aktivitas perekonomian karena faktor geopolitik. Meskipun demikian, masifnya penggunaan teknologi yang mampu nenggantikan peran manusia tetap perlu menjadi perhatian. 

Kajian WEF juga menyebutkan pekerjaan jenis baru yang mulai tumbuh cepat, diantaranya spesialis kecerdasan buatan dan machine learning, ahli teknologi keuangan, ahli robotik, dan sebagainya. Jenis pekerjaan tersebut memang belum terlalu familier saat ini. Akan tetapi, kehadiran profesi baru itu tidak bisa diabaikan. Laju inovasi membutuhkan tenaga berkeahlian itu. Oleh karenanya, perlu adanya kesiapan dari sisi sumber dayanya.

Pendidikan Aplikatif

Indonesia sebagai negara penerima kelebihan demografi, memiliki tantangan sekaligus peluang menyambut era transisi teknologi. Akan menjadi tantangan, ketika limpahan sumber daya produktif tidak dikelola dengan benar, sehingga menambah tumpukan pengangguran. Sebaliknya, menjadi peluang, apabila generasi mudanya dipersiapkan dengan baik dari sekarang. Untuk yang terakhir, pendidikan menjadi salah satu kuncinya. 

Sekilas membahas keterkaitan pendidikan dengan tenaga kerja, data BPS menunjukkan hanya 12,67 persen dari total penduduk bekerja berpendidikan tinggi atau diploma ke atas. Kontras, separuh lebih dari penduduk bekerja itu masih berpendidikan SMP ke bawah. 

Meskipun tidak sepenuhnya tepat, setidaknya tingkat pendidikan dapat merepresentasikan ketrampilan yang dimiliki. Makin rendah pendidikan, makin rendah ketrampilannya, makin rentan pula paling terdampak pemutusan hubungan kerja. Ketika perusahaan melakukan efisiensi, mereka jadi target utama.

Kembali pada isu kebutuhan pendidikan. Sistem pendidikan dapat menekankan penguatan ketrampilan yang diperlukan masa depan. Bentuk penguatannya berupa penyesuaian kurikulum yang mengedepankan ketrampilan siap guna. 

Dari pendidikan dasar, siswa setidaknya sudah bisa menguasai ketrampilan dasar teknologi, misalnya penggunaan komputer terus berlanjut hingga pada tungkat tertentu siswa telah memiliki spesialisasi teknologi tertentu. 

Mengingat penguasaan ketrampilan dimaksud memerlukan waktu yang panjang, penyiapan sumber daya tersebut diusahakan bisa sampai pada tingkat pendidikan tinggi. Kalau pun belum, minimal pada jenjang sekolah vokasi, siswa yang lulus telah mampu memenuhi kebutuhan pasar.

Dengan persiapan matang, Indonesia tidak lagi memandang profesi masa depan itu sebagai "ilmu langit". Generasi produktif yang melimpah itu telah mampu membumikannya, mereka telah menguasainya, dan mereka sangat siap menerapkannya.

Itulah persiapan tenaga kerja terhadap kehadiran automasi. Kesiapan agar dapat menikmati manfaatnya ketimbang tersingkir karenanya.

Kita tidak dapat melawan perubahan itu. Namun, kita tetap dapat menyiapkan diri sedari dini untuk menyambutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun