Serangan siber kembali mengguncang obyek strategis Indonesia. Kali ini, Pusat Data Nasional diduga menjadi sasaran peretasan itu. Harta paling berharga yang kudu diselamatkan pastinya adalah data, sesuatu yang tidak tersentuh, tidak memiliki rupa fisik, tapi bernilai tinggi.
Kehidupan di dunia digital memang menawarkan perubahan. Sesuatu yang meskipun tidak berwujud, mampu memberikan nilai besar pada kehidupan manusia. Data dapat diuangkan, begitupun uangnya yang berbentuk digital, dan perpindahan uangnya tanpa sentuhan tangan. Setidaknya itu ilustrasi singkatnya, kita semua sudah melakoninya. Â
Transisi
Deretan toko di mall besar itu nampak sepi. Ada toko mainan anak dengan hanya beberapa pengunjung, belum tentu membeli juga. Ya, anak-anak sekarang lebih memilih bermain game online di smartphone ketimbang asyik dengan dolanan konvensional. Nasib serupa pada toko buku, tidak banyak lagi pengunjung yang berseliweran memilih buku. Ya, orang-orang saat ini lebih menikmati berselancar di cerita singkat di media sosial, ketimbang menelaah ratusan halaman kertas yang dijilid.Â
Di lain tempat, para pedagang sebuah pusat grosir mulai gamang karena sepinya pembeli. Ya, kemungkinan pembeli zaman now lebih senang berbelanja daring. Selain kemudahan, harga murah pun didapat.
Fenomena-fenomena tersebut sebenarnya telah berlangsung dalam beberapa tahun belakangan. Kita pun sudah mulai terbiasa dengan itu. Tanpa melihat data atau kajian, kita sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Bukan karena aktivitas ekonomi yang mati, tidak pula karena lemahnya daya beli, tapi karena teknologi yang mentransisikan perilaku demikian.
Semesta Digital
Dunia digital bagaikan menawarkan semesta baru kepada manusia, makhluk yang telah lama berada dalam lingkungan analog. Tawaran itu serasa sangat menarik pada saat hidup kita dalam lockdown Covid-19. Terjadi peralihan cepat dari analog ke digital pada masa itu. Kita seperti tidak sempat menyampaikan salam perpisahan kepada dunia analog. Kakek nenek tiba-tiba bisa menggunakan aplikasi messenger, pedagang di pasar menawarkan bayar non-tunai, dan jual-beli on-line meningkat drastis. Â
Ketika itu, hanya dunia digital yang menjadi tambatan akhir untuk memenuhi kebutuhan. Manusia membutuhkan interaksi sosial, tersedia platform social media atau messenger. Butuh juga penghasilan, terbentuklah ekosistem ekonomi digital, dari e-commerce hingga pembayaran non-tunai. Semua itu dilakukan tanpa tatap muka, cukup dengan gerakan jari pada layar kecil gawai.
Tak terasa, dunia kembali dibuka. Tanpa menafikkan kedukaan yang membekas karena pandemi, teknologi terbukti membantu kita bertahan di kala keterhimpitan. Dan rupanya, kita tidak hanya mampir di dunia digital, kita semakin nyaman tinggal di dalamnya. Dari situlah muncul kesimpulan lahirnya era kenormalan baru. Era di mana aktivitas digital sudah menyatu dengan keseharian kita.
Dari homo sapiens ke homo digitalis, itulah ungkapan profesor filsafat, F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik maka Aku Ada. Â
Benar adanya, kehidupan ke depan semakin nampak arahnya, cenderung menuju dan membangun ekosistem digital. Kita lihat, pemerintah sangat getol mendorong kemajuan sektor digital, baik melalui kebijakannya maupun aksi pembangunannya. Bank sentral mempercepat laju transisi transaksi tunai menjadi digital. Begitu pun dunia usaha, mereka yang bergerak di bidang teknologi, kelihatan paling dinamis dalam berinovasi dan cepat mengumpulkan pundi.Â
Semua itu merupakan reaksi atas tingginya kebutuhan manusia pada apapun yang menyangkut digitalisasi. Tidak berlebihan, jika akhirnya manusia masa depan tidak hanya memenuhi sandang, pangan, dan papan, tetapi juga kebutuhan digital, itulah wujud homo digitalis.
Trade-in
Hampir mustahil kita mengembalikan lagi kehidupan ini ke dunia analog. Mau tidak mau, kita terus maju membangun dunia digital dan bagi yang tidak terbiasa maka harus berupaya menyesuaikan.
Mengintisarikan analogi F. Budi Hardiman, laiknya penumpang kapal Titanic yang tidak tahun bahwa gunung es mengancam pelayaran mereka. Manusia tidak boleh disilaukan dengan keberadaan teknologi, ada bahaya-bahaya yang melekat.
Bercermin pada serangan siber pada awal tulisan, begitu pun banyak kejadian serupa sebelumnya, ada risiko yang bersemayam dalam alam digital. Sekali kita terkoneksi, risiko siber pasti menyertai. Saya melihatnya seperti semacam trade-in. Digitalisasi memudahkan kehidupan kita, namun  ada kompensasi risiko yang harus dipersiapkan. Risiko siber baru satu contoh, masih banyak lagi yang lain, seperti finansial bahkan sosial.
Sekali lagi, kehidupan digital memang makin sulit ditinggalkan. Kemajuannya harus diberikan jalan, sehingga risiko yang semestinya bukan menjadi penghalang. Risiko yang ada perlu dikelola, diantisipasi, atau diatasi. Menempatkan pengamanan siber sebagai prioritas pengelola situs, peningkatan kepekaan terhadap perubahan sosial akibat perangkat digital, dan kesadaran individu untuk memahami dunia digital adalah beberapa upaya yang layak dilakukan. Â
Kita memang tidak akan sayonara kepada dunia analog, karena memang banyak aspek kehidupan yang akan tetap di dunia itu. Kita hanya mulai membiasakan hidup di dua dunia, tambahan dunia digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H