Industri perbankan nasional baru-baru ini diramaikan oleh pemberitaan rencana penarikan dana besar dari organisasi keagamaan ternama. Bank tempat menyimpan dana tersebut termasuk bank papan atas di negeri ini.
Alasan yang melatarbelakangi penarikan itu simpang siur. Muncul banyak spekulasi, dari yang mendasar yakni untuk pemerataan persaingan usaha, hingga yang bersifat politis seperti susunan kepengurusan perusahaan.
Terlepas apapun alasannya, dari aksi tersebut dapat dipetik pelajaran penting, monopoli industri perbankan dan loyalitas nasabah.
Mundur ke belakang, pada Oktober 1988, Indonesia sedang menghadapi era booming perbankan dengan menjamurnya pembukaan bank-bank baru. Saat itu, muncul paket kebijakan yang memudahkan pembukaan bank atau disebut deregulasi. Diantaranya, setoran modal minimum untuk pembukaan bank umum hanya Rp10M.
Paket kebijakan itu dikenal dengan Paket Oktober 1988 atau Pakto 88. Tujuan yang paling terkemuka adalah upaya Indonesia mengongkrak perekonomian non migas melalui sektor perbankan.Â
Memang, sektor migas ketika itu sedang melemah sehingga diperlukan dorongan ekonomi dari sumber lain. Dalam kondisi seperti itu, Pakto 88 memberikan dampak yang positif dalam beberapa tahun penerapannya.Â
Mengutip tulisan Dahlan M. Sutalaksana, Evaluasi Empat Tahun Pakto, dampak kebijakan Pakto 88 adalah perkembangan yang pesat di bidang perbankan, antara lain tercermin dari perkembangan jumlah bank.Â
Jumlah bank pada Desember 1988 adalah sebanyak 111, meningkat menjadi 216 pada Agustus 1992. Perkembangan pesat itu meningkatkan persaingan antar bank. Persaingan itu rupanya mendorong pula peningkatan jasa pelayanan dan produk perbankan.