Bagi yang lahir tahun 80an awal atau sebelumnya mungkin tidak asing dengan nama-nama ini, Brama Kumbara, Arya Kamandanu, atau Mak Lampir. Ya, merekalah tokoh-tokoh sandiwara radio yang selalu menghibur hari-hari kita di tahun 80-90 an.
Daya Tarik Imajinasi
Theatre of Mind, istilah yang saya dapat pertama kali dari podcast Prof. Rhenald Khasali tentang radio. Istilah tersebut ternyata sudah umum di dunia penyiaran, yang kurang lebih artinya radio mampu mendatangkan imajinasi bagi pendengarnya.
Menghadirkan imajinasi, itulah keistimewaan radio yang tidak dapat dilakukan perangkat elektronik lainnya. Karena itulah, sandiwara radio bisa menjadi hiburan favorit sekitar tiga dekade yang lalu. Dengan cukup mendengar suara bintang radio Ferry Fadly, pemeran Arya Kamandanu, pendengar bisa membayangkan serunya pertarungan pendekar tersebut melawan musuh-musuhnya. Â Â Â
Tidak hanya sandiwara, kakek saya saat itu menampakkan ketegangannya mengikuti pertandingan sepakbola melalui radio. Ya, pembawa acara olahraga tersebut cukup dengan suaranya yang menggebu-gebu sukes membawa vibe suasana lapangan di radio.
Itulah keasyikan mendengarkan radio, yang saat ini sulit ditemukan. Sajian hiburan dalam bentuk visual, seperti televisi dan video, telah mengambil alih hati pendengar radio. Lebih-lebih para generasi terkini atau Gen Z, mereka sudah lekat dengan tontonan di platform gadget yang tidak merangsang daya imajinasi sama sekali.
Radio, Kebersamaan Berkualitas
Mengenang kebersamaan dengan radio, ternyata tidak sekedar hiburan yang dia berikan. Ada memori indah yang membekas di ingatan.
Radio menyatukan keluarga. Masih ingat bagaimana saya dan keluarga berkumpul setiap malam untuk mendengarkan sandiwara radio. Durasinya memang tidak lebih dari 30 menit tapi waktu kumpul yang singkat itu benar-benar berkualitas. Interaksi kami lebih intens dan nyambung karena perhatian hanya terfokus pada objek yang sama, sandiwara radio.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Para anggota keluarga duduk berdekatan. Sayangnya, masing-masing memegang gadgetnya, menikmati dunia virtual yang berbeda-beda. Obrolan pun seadanya, kontak mata hanya sekilas. Jadi, secara fisik dekat tapi secara hati jauh terpisah, kumpul tanpa kualitas.
Mungkinkah Kembali