Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Perang Dagang AS dan Cina Berlanjut, Tak Perlu Takut

25 Juni 2018   22:40 Diperbarui: 26 Juni 2018   09:16 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.foodbusinessnews.net

Amerika Serikat (AS) kembali menegaskan pengenaan tarif untuk barang-barang impor dari Cina yang mencapai nilai USD 200 miliar. Pembebanan tarif itu secara bertahap telah dimulai sejak 18 Juni lalu. Sikap itu merupakan reaksi balasan atas tindakan Cina yang sebelumnya mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif untuk barang-barang dari AS.

Sebagaimana pernyataan Cina, 25% persen pengenaan tarifnya akan mencapai USD 34 miliar terhadap barang-barang dari AS. Kebijakan itu akan berlaku pada 6 Juli. Tindakan tersebut masih merupakan gelombang pertama. Untuk gelombang berikutnya, pengenaan tarif akan mencapai USD 16 miliar untuk waktu yang masih dijadwalkan.

Sikap saling membalas untuk pengenaan tarif tersebut menandai masih berlangsungnya perang dagang antar dua motor ekonomi dunia itu. Hubungan dagang mereka memiliki nilai yang terbesar di dunia.

Cina merupakan mitra dagang AS yang sangat strategis. Tahun 2017, Cina menduduki peringkat ketiga sebagai negara tujuan ekspor barang dan jasa AS dengan proporsi 8% (di bawah Kanada dan Meksiko). Untuk kategori impor, negeri tirai bambu itu menduduki peringkat pertama dengan penetrasi 18%. Valuasi ekspor tersebut yaitu USD 130 miliar dan nilai impor sejumlah USD 505 miliar.

Dengan kondisi itu, sekilas Cina akan menjadi pihak yang kalah dalam perang tarif melawan AS. Aktivitas bilateral dagang tersebut menunjukkan aliran barang sebagian besar mengalir dari Cina ke AS. Namun demikian, prediksi para analis, sebagaimana dilansir CNN, Cina tidak kehabisan akal untuk menyeimbangkan persaingan tarif itu. Cina diprediksikan bukan hanya akan memberlakukan pengenaan tarif perdagangan barang, tetapi juga ditambah dengan sektor non fisik yaitu  perdagangan jasa. 

Dalam hal ini, ekspor AS lebih besar daripada impor atau AS memperoleh surplus sebesar USD 32,9 miliar. Pariwisata mendominasi sektor jasa negara tersebut yakni sekitar 2/3 atau 63%. Jadi, dapat dikatakan, sektor itulah yang kemungkinan besar paling terpukul.

Masih lekat di ingatan kita ketika strategi semacam itu diterapkan kepada Korea Selatan beberapa waktu lalu. Saat itu, hubungan diplomatik kedua negara dimaksud memanas karena permasalahan misil senjata. Cina melarang agen travel perjalanan menjual paket wisata ke Korea Selatan. 

Dampaknya, sektor jasa terkait pariwisata di negeri ginseng itu, seperti hotel atau agen wisata, menurun drastis. Pariwisata merupakan sektor unggulan di Korea Selatan dengan 47% turis berasal dari Cina. Bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi di AS.

Efek perang dagang sudah mulai terlihat. Riset dari Rhodium Group, sebagaimana dikutip The Guardian, menunjukkan penurunan 92% investasi Cina ke AS dalam 5 bulan pertama tahun ini. Persentase tersebut merupakan level terendah selama 7 tahun.

Kekhawatiran dampak perang dagamg yang berlanjut pun muncul dari perusahaan-perusahaan raksasa AS yang memiliki penetraai pasar besar di Cina. Sebut saja, Apple, Intel, Nike atau Starbucks. Wajar kekhawatiran itu muncul mengingat Cina terkenal berani mengambil tindakan tegas terhadap suatu perusahaan kelas dunia sekalipun. Cina pernah menghentikan layanan mesin pencari Google pada tahun 2010, sebagai contoh.

Efek yang Meluas

Pengamat berpendapat kebijakan perselisihan tarif dengan Cina berpotensi meluas pada perang tarif dengan negara lainnya seperti Mexico, Canada, bahkan Uni Eropa.

Selama periode perang dagang, berbagai indeks saham dunia cenderung menunjukkan trend pelemahan. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengikuti trend tersebut. Sejak pembukaan pasar pasca libur panjang, IHSG tiga hari berturut-turut terus memerah dan sedikit mengalami peningkatan pada penutupan perdagangan tanggal 25 Juni. Kurs Rupiah terhadap dollar juga terus mengalami pelemahan. BI pun terus mengambil kebijakan menaikkan suku bunga acuan 3 kali berturut-turut.

Jika tensi antara AS dengan Cina terus meningkat, tekanan perdagangan global tidak dapat dielakkan. Meski demikian, masing-masing negara di dunia pasti sudah mempersiapkan langkah antisipasinya.

Indonesia sendiri, sebagaimana pernah diutarakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, dapat mengambil peluang dari situasi itu. Pemerintah akan mendorong para investor untuk menghasilkan barang berorientasi ekspor ke AS dan Cina. Tindakan itu sebagai upaya memanfaatkan kesempatan ketika barang-barang ekspor dari dan ke dua negara itu naik. Jika dapat diwujudkan, diharapkan Indonesia dapat menekan angka defisit transaksi berjalan (impor yang lebih besar daripada ekspor) yang kerap terjadi selama beberapa tahun ini.

Tentu strategi yang direncanakan pemerintah itu bukan hal yang mudah dan sederhana. Namun, setidaknya, Indonesia telah memiliki persiapan untuk menghadapi efek gelombang perang dagang ini.

Semoga bermanfaat.

Sumber: cnn.com, theguardian.com, gatra.com, marketwatch.com, bbc.com, forbes.com, usitc.gov, cencus.gov, bloomberg.com, dan bi.go.id.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun