Pengamat berpendapat kebijakan perselisihan tarif dengan Cina berpotensi meluas pada perang tarif dengan negara lainnya seperti Mexico, Canada, bahkan Uni Eropa.
Selama periode perang dagang, berbagai indeks saham dunia cenderung menunjukkan trend pelemahan. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengikuti trend tersebut. Sejak pembukaan pasar pasca libur panjang, IHSG tiga hari berturut-turut terus memerah dan sedikit mengalami peningkatan pada penutupan perdagangan tanggal 25 Juni. Kurs Rupiah terhadap dollar juga terus mengalami pelemahan. BI pun terus mengambil kebijakan menaikkan suku bunga acuan 3 kali berturut-turut.
Jika tensi antara AS dengan Cina terus meningkat, tekanan perdagangan global tidak dapat dielakkan. Meski demikian, masing-masing negara di dunia pasti sudah mempersiapkan langkah antisipasinya.
Indonesia sendiri, sebagaimana pernah diutarakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, dapat mengambil peluang dari situasi itu. Pemerintah akan mendorong para investor untuk menghasilkan barang berorientasi ekspor ke AS dan Cina. Tindakan itu sebagai upaya memanfaatkan kesempatan ketika barang-barang ekspor dari dan ke dua negara itu naik. Jika dapat diwujudkan, diharapkan Indonesia dapat menekan angka defisit transaksi berjalan (impor yang lebih besar daripada ekspor) yang kerap terjadi selama beberapa tahun ini.
Tentu strategi yang direncanakan pemerintah itu bukan hal yang mudah dan sederhana. Namun, setidaknya, Indonesia telah memiliki persiapan untuk menghadapi efek gelombang perang dagang ini.
Semoga bermanfaat.
Sumber: cnn.com, theguardian.com, gatra.com, marketwatch.com, bbc.com, forbes.com, usitc.gov, cencus.gov, bloomberg.com, dan bi.go.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H