Mendekati hari raya Idul Fitri ini, penawaran jasa penukaran uang rupiah baru di pinggir jalan makin marak. Hal itu terjadi setiap tahun mengikuti tradisi masyarakat yang memerlukan uang baru pada saat hari perayaan nantinya.
Keberadaan jasa penukaran di pinggir jalan atau disebut inang-inang kerap dipertanyakan. Sah kah mereka? Terlarangkah mereka?
Aturan tertulis terkait larangan praktik itu sulit ditemukan. Kalaupun ada adalah aturan mengenai sahnya lokasi tempat mereka menjajakan jasanya yang biasanya masuk dalam ketentuan Perda masing-masing daerah, bukan mengenai aktivitas penukarannya. Larangan juga muncul lebih pada pendekatan keagamaan seperti kemungkinan riba atau semacamnya.
Bisnis ini selalu muncul setiap tahun karena selain menguntungkan bagi pemberi jasa, juga ada kemauan dari masyarat alias memang ada pasarnya. Ada nilai tambah yang diperoleh bagi kedua belah pihak. Dari sisi pemberi jasa, mereka mengambil keuntungan dari tiap jumlah nominal yang ditukar, bisa Rp5 ribu-Rp10 ribu atau jumlah lainnya. Keuntungan ini mereka anggap sebagai imbal jasa penukaran. Â
Dari sisi masyarakat pengguna jasa, mereka rela untuk membayar biaya tambahan itu karena beberapa alasan. Pertama, Masyarakat menghindari antrian di lokasi penukaran resmi di bank-bank atau kas keliling (layanan menggunakan mobil) yang biasa dilakukan Bank Indonesia dan perbankan. Â
Kedua, sebagian masyarakat mungkin ada yang memiliki rekening di bank sehingga merasa asing atau sungkan ketika harus ke bank.
Ketiga, jumlah uang yang ditukarkan di bank umumnya minimal 100 lembar per pecahan dan kelipatannya. Jadi, masyarakat yang tidak memerlukan jumlah uang sebanyak itu lebih memilih penukaran di pinggir jalan. Â
Lalu, apakah aktivitas seamacam itu harus dihentikan? Mengingat payung hukumnya sulit ditemukan maka penghentian tidak bisa dilakukan secara resmi atau dalam rangka penegakan hokum. Malah mungkin tidak bisa dihentikan ketika kedua belah pihak masih saling membutuhkan. Dengan demikian, yang dapat dilakukan adalah pendekatan melalui himbauan.
Himbauan penukaran uang ke lokasi-lokasi resmi (kantor bank atau penukaran uang keliling dari Bank Indonesia dan perankan) terus disuarakan. Upaya itu cukup beralasan didasarkan berbagai pertimbangan.
Penukaran uang di lokasi resmi meminimalisir risiko masyarakat menerima uang palsu, sebagai pertimbangan utama. Bukan berarti penukaran di inang --inang ada uang palsunya tetapi jaminan seluruh uang yang ditukarkan itu asli tidak dapat dipertanggung jawabkan. Jika penukaran dilakukan di lokasi resmi tentu sudah dapat dipastikan keasliannya.
Selain itu, penukaran uang baru dapat dilayani oleh seluruh kantor bank. Artinya, masyarakat mempunyai banyak pilihan dan kemungkinan antrian panjang dapat dikurangi. Bagi mereka yang enggan ke kantor bank, layanan penukaran resmi menggunakan mobil keliling cukup gencar dilakukan selama bulan Ramadhan ini, kuantitas dan penyebaran titik penukaran cukup banyak di berbagai daerah.