Gejolak harga bahan pangan sudah menjadi kelaziman menjelang dan selama bulan Ramadhan. Hari besar keagamaan ini memang merupakan momentum paling sensitive terhadap lonjakan harga komoditas tersebut.
Harga bahan pangan merupakan salah satu pemicu utama terjadinya inflasi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada Maret lalu bahan makanan menduduki andil inflasi tertinggi bersama dengan transportasi. Kenaikannya sejalan dengan kebutuhan masyarakat, khusus pada hari raya keagamaan ini permintaan masyarakat melebihi bulan-bulan selainnya.
Sukar mencegah fenomena tahunan kenaikan harga bahan makanan, namun bukan  mustahil untuk mengendalikannya. Memang rumit mengendalikan harga pangan. Strategi yang diterapkan pun harus luas dan menyeluruh.
Memperhatikan seluruh faktor dalam rantai bisnis penyaluran barang dari produsen ke konsumen merupakan kuncinya. Pasokan barang yang banyak tidak menjamin terjaganya harga ketika kelancaran distribusi diabaikan, sebagai contoh.
Pengoptimalan peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam mengatur strategi pengendalian inflasi, dukungan Satgas Pangan kepolisian untuk penegakan hukum, dan penyelenggaraan pasar murah serta operasi pasar yang biasa diinisiasi Dinas Perdagangan, merupakan bentuk rutinitas dalam menstabilkan harga pada momentum besar ini.
Dalam perkembangannya, meredam inflasi dari harga pangan bukanlah sesuatu yang sederhana. Kestabilan harga pangan kerap diidentikkan dengan harga komoditas yang konsisten rendah. Bagi konsumen tentu sangat menguntungkan, tetapi belum tentu bagi produsen. Petani, misalnya, akan memperoleh margin keuntungan yang kecil atau mungkin justru rugi.
Kompleksnya pengendalian harga pangan akhirnya menghasilkan berbagai terobosan. Pemotongan rantai distribusi dan pemantauan harga berbasis digital merupakan inovasi terkini kaitannya dengan upaya tersebut.
Penyederhanaan Distribusi
Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, keseimbangan permintaan dan penawaran saja tidak cukup untuk menjamin kestabilan harga. Distribusi adalah factor yang tidak dapat dilepaskan dari kestabilan tersebut. Panjangnya rantai distribusi menyebabkan harga barang naik, itu pun masih ditambah risiko penimbunan oleh oknum tertentu.
Menyikapi masalah itu, muncullah mekanisme penjualan bahan pangan dengan rantai distribusi yang sangat pendek. Rumah Pangan Kita (RPK), yang diinisiasi oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), menciptakan system pemasokan komoditas yang dikelola Bulog (misalnya, beras, gula, cabai, dan minyak goreng) langsung ke warung milik masyarakat, sebagai contoh.
Inovasi serupa, Toko Tani Indonesia dari Kementerian Pertanian, Minang Mart dari pemerintah Sumatera Barat, atau penjualan produk melalui Badan Usaha MIlik Desa memiliki mekanisme penyaluran barang dengan distribusi yang pendek. Â Â
Pada momentum krusial lebaran, pola distribusi dan penjualan tersebut akan sangat efektif. Gejolak harga lebih terpantau karena langsung diawasi oleh masing-masing pemilik program. Rantai distribusi yang pendek mampu menurunkan modal produsen ataupun pedagang yang pada akhirnya menghasilkan harga jual yang terjangkau. Baik penghasil komoditas maupun pembelinya memperoleh manfaat yang seimbang. Â Â
Informasi Menahan Inflasi
Pertama kali membuka aplikasi SiHati dari telepon genggam, saya sangat terkesan dengan mudahnya memperoleh informasi harga bahan pokok terkini lengkap dengan lokasi pasar penjualnya. Itulah salah satu aplikasi penyedia harga bahan pangan yang dirancang TPID Provinsi Jawa Tengah. SiHAti sendiri merupakan kependekan dari Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditi).
Memang, selain terobosan pemotongan rantai distribusi, beberapa tahun belakangan muncul inovasi pengendalian inflasi melalui pendekatan transparansi informasi harga.
Ketidakseimbangan informasi dapat memicu pergerakan harga yang tidak wajar. Dalam hal ini, produsen mungkin lebih menguasai informasi daripada konsumen sehingga sulit bagi konsumen memperoleh perbandingan harga wajar.
Begitupun produsen mungkin tidak mengetahui harga pasaran dari komoditas yang dijualnya. Pemerintah pun tidak menutup kemungkinan telat melakukan antisipasi karena keterlambatan informasi yang diterima.
Inovasi pemantauan harga melalui kanal digital melalui aplikasi sepertihalnya SiHAti maupun berbasis situs internet mulai bermunculan. Sebut saja, aplikasi HargaPangan milik Bank Indonesia, Sasirangan (Sarana Informasi Harga Pangan) yang dikelola Pemerintah Banjarmasin, infopangan.jakarta.go.id, regopantes.com, dll.
Sama halnya dengan SiHati, fasilitas informasi digital itu pada umumnya menyediakan daftar harga bahan makanan pokok yang mudah bergejolak (volatile food) dari berbagai pasar. Â Â Â Â
Digitalisasi informasi ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini yang semakin lekat dengan teknologi. Mereka memperoleh banyak nilai tambah. Pertama, mempermudah perolehan informasi pangan yang bersifat real time atau terkini. Informasi melalui platform digital diperbaharui setiap hari sesuai harga yang berlaku saat itu.
Kedua, akses informasi bisa dilakukan dengan praktis, kapan dan dimana saja, karena cukup menggunakan perangkat digital seperti telepon genggam. Hal itu tidak diragukan lagi mengingat pengguna telepon genggam di Indonesia sudah sangat tinggi. Â
Ketiga, baik masyarakat maupun pedagang kian dekat dengan informasi harga pangan sehingga risiko ketidakseimbangan informasi dapat dikurangi. Mereka dengan mudah dapat melakukan pemantauan dan perbandingan harga. Permainan harga pun dapat dihindari. Akhirnya, konsumen memperoleh harga beli yang wajar dan produsen mampu menetapkan harga jual yang normal.
Keempat, dengan adanya kemudahan akses informasi, ekspektasi masyarakat terhadap pergerakan harga lebih terjaga. Menjaga ekspektasi sangat perlu guna mencegah dampak psikologis berupa kepanikan terhadap pergerakan harga. Bagaimanapun faktor tersebut secara tidak langsung dapat memicu kenaikan harga barang.
Kelima, selain nilai manfaat bagi masyarakat, informasi harga ini juga menjadi sistem peringatan dini (early warning system) bagi pemerintah jika terdapat anomali harga. Antisipasi maupun upaya penanganan pun dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat. Berkaca pada tren harga pangan, memasuki bulan ramadhan, fluktuasi harga dengan kecenderungan naik dapat terjadi sangat cepat. Tindakan sigap dari otoritas pun sangat diperlukan.
Transparannya informasi pada akhirnya dapat mencegah perang harga yang tidak sehat, yang hal itu sangat rentan terjadi pada masa-masa sensitif (peringatan hari besar keagamaan). Pengawasan pergerakan harga dilakukan secara kolektif oleh semua pihak, antar produsen/ penjual, konsumen, dan pemerintah.
Memanfaatkan Momentum
Menghadapi momentum krusial terjadinya inflasi harga pangan, seluruh amunisi untuk menstabilkan harga perlu dikerahkan. Strategi konvensional (pasar murah, operasi pasar, dll) perlu disinergikan dengan terobosan inovatif seperti pemotongan rantai distribusi dan penyediaan informasi digital.
 Instablilitas harga dapat berdampak signifikan pada perekonomian masyarakat. Inflasi yang mengantar pada ekonomi biaya tinggi tidak terelakkan. Bahan makanan sebagai kontributor utama inflasi tentu memiliki pengaruh besar dalam hal ini.  Â
Momentum hari raya jika dikelola dengan baik selayaknya menjadi periode yang memberikan impak positif bagi produsen dan konsumen. Pada saat tersebut produsen dapat mengoptimalkan volume penjualannya. Begitupun konsumen, kebutuhannya yang tinggi dapat terpenuhi. Namun, perlu digaris bawahi, kewajaran harga harus tetap dikedepankan.
Kenaikan harga menyambut hari nasional keagamaan bukan lagi kejutan. Yang terpenting adalah bagaimana mengawal kestabilannya dan mengurangi fluktuasinya. Sebisa mungkin, harga yang naik dapat kembali normal pasca hari raya, bukan justru menjadi harga dasar yang baru (fenomena ini yang kerap terjadi).
Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam hal ini. Dukungan solid dari berbagai pihak, dari produsen, distributor, hingga konsimen untuk turut menjaga harga sangat dibutuhkan. Akhirnya, semoga semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang mewarnai tradisi perayaan hari raya keagamaan mendatang juga tercermin pada upaya bersama menjaga kestabilan harga.
Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon (Milton Friedman, 1963). Â Â Â Â Â Â
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H