Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

7 Alasan Pentingnya Mengurangi Penggunaan Uang Tunai

21 Agustus 2016   22:02 Diperbarui: 21 Agustus 2016   22:28 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Uang tunai sudah menjadi alat pembayaran sejak ratusan tahun tahun. Diawali dengan uang berbahan logam kemudian berkembang menjadi uang dari kertas. Namun, beberapa tahun belakangan berbagai Negara termasuk Indonesia mulai mendorong pengurangan transaksi tunai. Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan perbankan gencar mengkampanyekan transaksi non tunai. Dari aktivitas perdagangan, layanan umum, hingga bantuan sosial pelan tapi pasti mulai dialihkan menjadi non tunai. Perpindahan uang tunai di masyarakat terus diminimalisasi.

Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pengurangan penggunaan uang tunai? Berikut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian:

(1) Mahalnya pencetakan uang

Dari data yang saya peroleh di situs resmi Bank Indonesia (www.bi.go.id), beban pengelolaan sistem pembayaran tunai tahun 2015, yang didalamnya termasuk biaya pencetakan uang, mencapai Rp3,7 T. Meningkat dari tahun sebelumnya Rp2,8T. Bandingkan dengan pengelolaan sistem pembayaran non tunai pada tahun yang sama yang hanya menghabiskan biaya Rp78,8M.

Peningkatan pencetakan uang salah satunya dapat dipicu dari tingginya tingkat kerusakan uang. Kerusakan terjadi karena kebiasaan buruk masyarakat dalam memperlakukan uang  seperti melipat, mencorat coret, dll.

(2) Rawannya Pemalsuan Uang

Pemalsuan uang masih saja terjadi. Uang kertas pecahan besar (Rp50.000,00 dan Rp100.000,00) adalah pecahan yang paling sering dipalsukan. Bank Indonesia mencatat bahwa dari Januari hingga Mei 2016 telah ditemukan 13.017 lembar uang palsu. Wow…

Sebenarnya, uang tunai, khususnya uang kertas, telah dilengkapi berbagai alat pengaman untuk menandai keasliannya. Sebut saja cetak kasar pada gambar (intaglio), benang pengaman, gambar tersembunyi, dll. Namun, banyak masyarakat yang belum mengenal dengan baik ciri-ciri keaslian uang rupiah.

Selain itu, pada kondisi tertentu, masyarakat sulit untuk memperhatikan ciri-ciri keaslian rupiah. Misalnya, pada saat transaksi dengan nilai yang besar. Transaksi pembelian mobil bekas senilai Rp100 juta menggunakan pecahan Rp100 ribu maka akan terdapat 1000 lembar pecahan tersebut. Sulit rasanya, bagi seorang teller bank senior pun, untuk mengidentifikasi keaslian seluruh lembar uang sebanyak itu. Dari banyak pemberitaan, modus penyebaran uang palsu sering dilakukan pelaku dengan meyelipkan atau mencampurkannya dengan lembaran uang asli.

(3) Keamanan Membawa Uang

Membawa uang tunai dalam jumlah dan nilai yang besar selain merepotkan tentu sangat beresiko. Perampokan, pencopetan, penjambretan, dan bentuk kejahatan lainnya dapat mengintai pembawa uang tersebut kapan dan dimana saja. Membawa uang dalam jumlah besar, sebagaimana penjelasan saya sebelumnya, juga sangat beresiko terhadap tercampurnya uang palsu. Hal itu tentu sangat merugikan.

(4) Uang Tunai Tidak Higienis

Perpindahan uang sangatlah cepat dari tangan satu ke tangan lainnya. Jaminan higienitas uang tersebut tentu tidak ada. Banyak pakar kesehatan menginformasikan bahwa penularan penyakit dapat melalui persentuhan kulit dengan barang. Hal tersebut tentu dapat pula terjadi pada uang yang kita pegang.

(5) Repotnya Uang Kembalian

Anda mungkin pernah mengalami pengembalian uang berupa permen? Atau tawaran kasir untuk mendonasikan uang kembalian Anda? Itu semua dapat terjadi bukan karena toko tersebut dermawan tetapi karena toko tidak mau repot menyediakan uang pecahan kecil untuk pengembalian. Mereka seringkali kurang persiapan menyediakan uang logam pada saat memulai aktivitas jual belinya. Pengembalian seharusnya merupakan bagian dari proses transaksi yang wajib menggunakan uang. Secara logika, tidak dibenarkan penggantian dengan barang lainnya (misalnya permen).  

(6) Transaksi Tunai Rawan Korupsi

Inilah yang menjadi alasan utama pemerintah terus menggalakkan transaksi non tunai. Dalam praktek sehari-hari. Perpindahan dana secara tunai sangat rawan penyalahgunaan, seperti pungli, korupsi, atau penggelapan. Kejahatan itu rawan terjadi pada transaksi layanan publik. Kontrol arus kas uang Negara pun sulit dilakukan dan kebocoran dana sangat mungkin terjadi apabila transaksi dilakukan secara konvensional. Penyebabnya yaitu tidak adanya kepastian kebenaran pencatatan manual yang dilakukan petugas layanan. Berbeda apabila transaksi dilakukan secara non tunai (misalnya melalui transfer ke bank), akuntabilitas laporan aliran dana dapat lebih dipertanggungjawabkan karena tercatat melalui sistem komputerisasi.

(7) Transaksi tunai mulai ditinggalkan Negara maju

Kita tidak asing lagi dengan istilah smart city. Sebuah kota pintar yang menerapkan tata kelola aktivitas masyarakatnya dengan bantuan teknologi. Dalam smart city, berbagai transaksi yang dilakukan penduduk didalamnya menggunakan sistem non tunai  berupa transfer melalui bank atau menggunakan alat pembayaran kartu. Sebut saja pembayaran angkutan umum, pajak, layanan kesehatan, layanan umum lainnya dan transaksi perdagangan (e-commerce) dilakukan tanpa uang tunai. Sistem ini dipelopori oleh Negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa.

Dalam pelaksanaannya, smart city memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakatnya, terutama dalam bertransaksi. Atas alasan itu, Negara-negara berkembang mulai menerapkan sistem serupa. Tidak ketinggalan Indonesia, banyak kota besar yang sudah menjalankan sistem smart city secara bertahap, dimulai dengan perubahan budaya dari transaksi tunai ke non tunai.   

***

Itulah 7 hal yang melatarbelakangi ajakan mengurangi penggunaan uang tunai. Memang perlu disadari bahwa merubah budaya transaksi uang tunai yang sudah mengakar berabad-abad bukan pekerjaan mudah. Tantangan terbesarnya adalah faktor budaya. Banyak masyarakat kita yang belum merasa nyaman membeli barang atau membayar sesuatu tanpa melakukan pemindahan uang secara fisik. Atau, rasa kurang percaya diri jika dompet tidak berisi banyak uang. Itu semua wajar, mengingat berbagai layanan non tunai (ATM, kartu kredit, uang elektronik, dll) belumlah membumi, terutama untuk masyarakat di remote area. Banyak diantara masyarakat yang belum memahami pemanfaatan fasilitas non tunai. Meskipun demikian, dengan makin sadarnya masyarakat akan kemudahan dan berbagai kenyamanan dari transaksi non tunai, pengalihan budaya dari bertransaksi menggunakan uang tunai menjadi non tunai bukan hal yang mustahil beberapa tahun ke depan.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun