Kelak, tiba saatnya uang tidak akan menebalkan dompet kita, terlupakan tradisi menyerahkan uang saku pada anak sekolah, atau bahkan ibu-ibu pedagang di pasar menyodorkan Electronic Data Capture untuk alat pembayaran barang. Gambaran kehidupan semacam itu bukan mimpi belaka di negeri ini. Sudah tampak dari sekarang, transaksi non tunai kian menjamur pada berbagai sektor kehidupan. Transaksi berbasis teknologi itu merepresentasikan wujud baru kehidupan sosial, kehidupan dalam suatu smart city. Â Â Â
Sedikit gambaran mengenai apa itu smart city. Wujudnya berupa sebuah kota yang telah mengintegrasikan produk teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology/ ICT) dalam berbaga lingkup kegiatan masyarakatnya. Produk teknologi ICT terkini seperti internet of things, cloud computing, atau big data terintegrasi menjadi sarana penggerak rutinitas kehidupan tersebut. Layanan-layanan yang semula mengandalkan fasilitas fisik beralih menjadi virtual digital. Bentuk konkretnya antara lain diterapkan pada e-government, e-budgeting, e-commerce, e-learning, atau e-payment.
Terbentuknya smart city tentu tidak terlepas dari peran pemerintah yang berkolaborasi dengan pihak-pihak lainnya seperti perusahaan telekomunikasi, bank sentral (Bank Indonesia), perbankan, perusahaan transportasi, dan yang terpenting, masyarakat itu sendiri. Kerja bareng antar pihak itu mutlak diperlukan karena kota cerdas, sebagai kota berbasis digital, memberikan layanan yang bersifat integratif. Contohnya, masyarakat membayar tiket bus menggunakan uang elekronik. Uang tersebut merupakan produk non tunai perbankan, sedangkan sistem pembayaran non tunai diatur oleh Bank Indonesia. Â Â Â Â
Dalam lingkungan smart city, interaksi fisik terus dikurangi, digantikan dengan kehadiran teknologi. Salah satu aktivitas yang menjadi ciri utamanya adalah aktivitas transaksi yang akrab dengan produk teknologi digital. Jadi, teknologi telah mengkonversi fisik uang logam dan kertas menjadi data digital yang tersimpan dalam perangkat telepon pintar atau kartu. Perpindahan dananya pun lagi-lagi secara digital, yakni melalui teknologi sistem pembayaran non tunai. Disitulah peran regulator terhadap sistem tersebut sangat dinantikan. Regulator tersebut tak lain adalah Bank Indonesia (BI), otoritas yang memiliki kewenangan utuh dalam mengatur sistem pembayaran non tunai di Indonesia. Â Â Â
Peran BI dimulai dengan penerbitan ketentuan-ketentuan terkait transaksi non tunai. Yang terkini adalah peraturan mengenai alat pembayaran menggunakan kartu dan uang elektronik. Peraturan itu mendorong sekaligus memberikan kesempatan yang luas bagi bank untuk menerbitkan alat pembayaran berbasis kartu dan server. Adanya payung aturan tersebut menjadikan kalangan perbankan semakin yakin dan leluasa untuk mengembangkan produk layanan non tunainya. Respon mereka pun sangat bagus yang dibuktikan dengan terus bertambahnya inovasi pembayaran elektronik beberapa tahun ini. Misalnya, integrasi perbankan dengan perusahaan teknologi finansial/ fintech menciptakan dompet elektronik (dana bank ditransfer ke dalam dompet digital). Produk itu menjadi salah satu bagian dari aplikasi pembayaran dalam lingkungan smart city. Â Â Â
Setelah aturan terbentuk, peran BI berikutnya adalah menggandeng pemerintah dan pihak lainnya guna mengoptimalkan pemanfaatan instrumen non tunai. Tidak dipungkiri bahwa menciptakan kebudayaan baru seringkali memerlukan inisiasi otoritas yang berkuasa, termasuk dalam rangka membiasakan bertransaksi non tunai. Dalam hal ini, BI mulai bekerjasama dengan pemerintah daerah mendorong pemanfaatan instrument non tunai. Misalnya, baru-baru ini, BI dan Pemprov DKI meluncurkan kartu Jakarta One. Kartu pintar multifungsi tersebut mampu menyajikan data identitas penduduk sekaligus dapat berfungsi sebagai alat pembayaran berbagai layanan public seperti bus Trans Jakarta, rumah sakit umum, atau retribusi. Inovasi semacam itu menjadi bentuk awal sistem pembayaran layanan publik dalam tatanan smart city. Â Â Â Â Â Â Â Â
Smart city mempunyai tujuan utama menciptakan suasana kehidupan yang nyaman bagi masyarakatnya. Bentuknya tak lain berupa kecepatan, kemudahan, dan keterbukaan (transparansi) dalam memperoleh berbagai layanan. Tuntutan kenyamanan itu dapat terjawab dengan eksistensi sarana non tunai. Bersama dengan pemerintah, BI konsisten mengkomunikasikan keberadaan instrumen non tunai yang menjanjikan banyak kemudahan. Komunikasi ini memiliki arti penting bagi masyarakat yang notabene sebagian besar masih awam dengan fasilitas transaksi non tunai. Ketika pemahaman telah tertanam maka proses bisnis dalam smart city akan berjalan dengan lancar. Masyarakat sebagai obyek utama dengan sendirinya akan menikmati sarana transaksi yang memudahkan dirinya. Â Â
Seiring dengan perkembangan teknologi insformasi yang pesat, pemanfaatan internet pun kian melesat. Eric Schmidt dan Jared Cohen (keduanya petinggi Google) mencatat bahwa pengguna internet di seluruh dunia saat ini telah mencapai lebih dari 2,4 milyar, dan disertai jumlah masifi pemakai telepon selular yang telah melebihi 6 milyar. Mereka bahkan berani memprediksi, pada tahun 2025 lebih dari 8 milyar orang telah mengakses informasi secara on line melalui perangkat genggam (handheld). Angka itu tidak terlalu mengejutkan apabila melihat antusiasme masyarakat yang membuka diri terhadap kecepatan arus teknologi saat ini.
Kembali pada smart city, membangun kota cerdas ini bukanlah proyek Rorojongrang semalam. Diperlukan tahapan-tahapan yang dimulai dari simplesmart city (digitalisasi yang masih terbatas) hingga akhirnya terbentuk model kompleksnya (akses layanan digital yang luas). Namun, jumlah besar pemakai teknologi informasi memberikan keyakinan kesuksesan pengembangan kota pintar ini di masa depan. Sejalan dengan itu, kian mudahnya aksesibilitas informasi akan mengasah kekritisan masyarakat. Terkait sistem pembayaran, standarisasi mereka terhadap layanan tersebut akan semakin meninggi. On demand economy, sebuah kegiatan ekonomi yang tercipta dari aktivitas digital untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kecepatan dan kenyamanan, tidak dapat ditolak. Dalam kondisi demikian, BI perlu menyikapinya secara adaptif, mampu mengikuti efek era digital tersebut.
Strategi penguatan transaksi non tunai di smart city tidak dapat lagi ditawar. BI dan perbankan harus bahu membahu menciptakan sistem pembayaran yang makin cepat dan handal. Interaksi transaksi government to person, person to government, dan person to person pun terus diperluas. Tujuan akhirnya, konektivitas seluruh layanan public secara non tunai akan terwujud. Masyarakat akan dimanjakan beragam layanan pembayaran digital. Bayar bus, tol, parkir, pajak, listrik, air, dll cukup melalui smart phone atau gesek kartu. Mau kirim uang tak lagi antri di teller, cukup manfaatkan layanan mobile banking.
Selain kenyamanan bertransaksi, aktivitas non tunai di smart city juga dengan sendirinya mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih sehat. Hal itu dikarenakan masyarakat lebih mudah memantau peralihan dana yang menjadi pemasukan maupun pengeluaran pemerintah. Tindakan penyalahgunaan anggaran pun dapat direduksi. Tak kalah pentingnya, dari segi ekonomi, efektivitas dan kelancaran dalam proses transaksi akan mendorong geliat perekonomian. Kemudahan itu memacu masyarakat untuk semakin meningkatkan kegiatan ekonominya.