Pendapatan Desa Ponggok meningkat 1300 kali lipat atau 130.000 persen! Pendapatan  semula 5 adalah juta dan  menjadi 6,5 milyar pertahun. Ini berkat kreativitas aparat desa dalam mengelola dana desa dan memanfaatkan potensi desa.
Modal utana Ponggok yang terletak di Kecamatan Polanharjo, Klaten, ini adalah mempunyai obyek wisata berupa pemandian tua. Pemandian itu kemudian dibenahi dan kini menjadi salah satu destinasi menarik di Klaten.
Obyek wisata bernama Umbul Ponggok itu kian terkenal setelah foto-fotonya tersebar ke media sosial. Obyek wisata dirapikan, dikasih sofa, motor, kuda lumping, ikan, dikasih kamera di dalam air. Jadi para pengunjung bisa berenang sambil selfie di dalam air. Dan di era Instgram ini, tempat wisata di atas menjadi "hits".
Setelah menyebar dan populer lewat Instagran, facebook dan Youtube, pengunjung datang bak banjir bandang. Terus-menerus datang dan tak terbendung. Gejala efek domino tak bisa dicegah : tumbuhnya penginapan, tempat makan, muncul kebutuhan tempat parkir, dll.
Total, pendapatan Umbul Ponggok yang dikelola oleh badan usaha milik desa (BUMDes) tersebut adalah 6,5 milyar. Keuntungan bersih sekitar 3 milyar. Keuntungan itu digunakan untuk memberdayakan usaha-usaha lain di bawah BUMDes Ponggok. Ditambah gelontoran dana desa tiap tahun yang semakin meningkat, maka Ponggok akan semakin "genit" bersolek. Dan dampak lagsung ataupun tak langsung hampir dapat dipastikan kesejahteraan warga Ponggok akan terdongkak tajam.
Ini adalah contoh dari tetangga Yogyakarta. Kali ini, dengan segala kerendahan hati, kepala desa / kelurahan di Yogyakarta tak perlu  malu-malu mencontoh keberhasilan Desa Ponggok. Tentu tidak dengan meniru secara kaku dan persis. Karena potensi masing-masing desa berbeda-beda. Intinya adalah menggerakkan potensi desa dengan suntikan dana desa.
Tokoh masyarakat Yogyakarta yang sekarang menjabat Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Bambang Soepijanto mempunyai pemikiran bahwa dana desa tidak hanya diputar di desa melulu.
Semisal, ada sebuah desa yang punya potensi makanan khas yang terbuat dari kulit pisang. Usaha itu bisa dikelola BUMDes. Sebagai sebuah unit usaha tentu BUMDes juga harus berpromosi, mencari agen / mitra, dll. Â Makanan itu bisa dititipkan ke pusat olah-oleh dan mall-mall atau tenpat-tempat strategis yang menjadi tujuan wisata.
Pemerintah Kabupaten / Kota / Provinsi bisa memfasilitasi dengan membuat perjanjian dengan pengelola pusat jajan / supermarket / minimarket agar memberi akses pemsasaran ke produk-produk  BUMDes. Ini sebagai contoh.
Bambang Soepijanto yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI dapil Yogyakarta ini memang menekankan pada konsep kepepimpinan "NGAYANI". Dua konsep lainnya adalah "NGAYOMI" dan NGAYEMI".
Terkait kosnep "NGAYANI" seorang pemimpin harus mampu mensejahterakan masyarakatnya. Dan dengan adanya dana desa ini, maka para aparat desa di Yogyakarta punya peluang untuk itu. Jangan hanya uang dihabiskan untuk infrastrukur saja. Kalau dihabiskan untuk infrastrukur, uang habis. Ketika rusak, perlu perawatan. Akhirnya dana desa hanya buat tambal sulam infrastruktur.
Kalau penggunaan dana desa tepat seperti yang terjadi di Ponggok, angka kemiskinan di Yogyakarta sudah hampir pasti turun. Saat ini, angka kemiskinan di Yogyakarta di atas 10 persen, di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Upah Minimum Provinsi Yogyakarta juga yang terendah di  Indonesia.
Momentum dana desa bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat Yogyakarta.
Baca Juga :
Aneh, Rektor UGM Minta Maaf Pada Terduga Kasus Pemerkosaan
Upah di Yogyakarta Terendah Se-Indonesia
Siapa Pemain Asing yang Diincar PSS Sleman?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H