Mohon tunggu...
haris naufal
haris naufal Mohon Tunggu... Buruh - calon orang yang termarjinalkan

Seorang proletar yang kebanyakan protes akan sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartun dan Representasi Gender

18 November 2019   20:34 Diperbarui: 18 November 2019   20:36 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartun telah menjadi salah satu seni rupa yang memiliki fungsi yang teramat luas, baik dari segi hiburan maupun segi ekspresi diri. Ekspresi diri dalam dunia kartun ini bisa ekspresi dalam bidang politik dan sosial. Dalam bidang politik, kartun menjadi media penampung aspirasi karikaturis yang pada saat itu sering menggambarkan keadaan politik dengan nada satirikal. 

Contoh adalah lukisan-lukisan era perang Napoleonik oleh James Gilray. Dalam bidang sosial, kartun sering menjadi media untuk menggambarkan keadaan masyarakat atau menyindir dan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang belum tercapai, di sini letak isu identitas gender dalam penokohan kartun.

Sepanjang sejarah animasi, gender dalam penokohan kartun seringkali mengikuti norma yang berlaku di masyarakat, seperti seni pada umumnya. Pada tahun 1930, di Amerika Serikat, stereotip-stereotip buruk kepada suatu golongan tertentu cenderung sering dipertunjukkan. Kaum homoseksual tidak terlepas dari cap buruk ini. Dalam kartun yang berjudul Flip the Frog : The Soda Squirt(1933), Flip digambarkan sebagai karakter yang takut kepada penampakan orang homoseksual yang sedang menjaga toko (Pepi, 2017).

Dalam industrinya sendiri, perempuan sebagai animator hanya dianggap sebagai pemberi sentuhan feminim atau hanya -menjadi pembantu laki-laki bekerja dalam industri kreatif ini (Johnson, 2017). Selain itu pula, Gotz et al, (2007) menemukan bahwa kebanyakan karakter utama dalam mayoritas kartun dengan angka 69% adalah laki-laki, sisanya perempuan sebagai karakter sampingan atau pembantu dari karakter laki-laki. Karakter yang netral secara gender pun kebanyakan dipanggil dengan kata ganti dia(he).

Konstruksi norma ini juga memengaruhi bagaimana pembangunan karakter dari suatu tokoh dalam kartun. Perempuan seringkali digambarkan sebagai karakter yang bergerak dalam grup, sedangkan laki-laki seringkali digambarkan sebagai karakter yang keras kepala dan penyendiri (Gotz et al : 2007). Laki-laki juga sering ditampilkan dengan berat yang lebih dibandingkan perempuan, sedangkan perempuan banyak digambarkan sebagai karakter yang seksi dan kurus. 

Dalam masyarakat patriarkis dimana laki-laki membentuk realitas budaya, pastinya penggambaran perempuan ini adalah hal yang umum dan seringkali dianggap lumrah. Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa rata-rata perempuan remaja yang direpresentasikan dalam penokohan dalam kartun lebih banyak dibandingkan dengan remaja laki-laki, dengan perbandingan 37%:25%. Perlu diketahui pula bahwa kulit putih mendominasi penokohan dengan jumlah 72% (Gotz et al, 2007).

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak pula norma masyarakat yang berubah karena sudah tidak lagi relevan. Gerakan political correctness yang semakin merebak adalah tanda perlawanan masyarakat terhadap bagaimana budaya populer mengkonstruksi penokohan yang dianggap 'seksis' dan 'rasis' ini. 

Kartun juga terkena pengaruh gerakan yang masif ini. Semakin banyak kartun yang mulai merepresentasikan kesetaraan gender. Seperti kartun yang berjudul Gravity Falls, dengan tokoh utama Dipper yang bergender laki-laki dan Mabel yang bergender perempuan, menjadi bukti kalau perempuan dan laki-laki bisa sama-sama jadi karakter utama dengan wataknya masing-masing tanpa perlu mengikuti konstruksi norma masyarakat. Dalam Steven Universe, banyak dari bangsa Crystal Gems adalah perempuan yang memiliki kebebasan dalam orientasi seksualnya.

Kartun memiliki sejarah yang panjang dalam menggambarkan masyarakat. Norma yang terkonstruksi sendiri berkontribusi dalam bagaimana penokohan dalam sebuah kartun. Gender sendiri sering menjadi sorotan dalam penokohan ini. Masyarakat yang patriarkis juga membentuk realitas dunia kartun yang condong kepada laki-laki. Meskipun begitu, perubahan-perubahan dalam konstruksi ini bakal terjadi seiring dengan perubahan sosial.

Referensi :

Pepi, Lorelei. (2017, Maret 20). The Politics of Representation. diambil dari :blog.animationstudies.org/?p=1921

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun