Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Menjual "Privasi" Diri Demi Berinternet

24 September 2021   22:21 Diperbarui: 24 September 2021   22:23 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gawai. || Sumber gambar: Dokumen Pribadi

Maraknya perkembangan teknologi, khususnya pengembangan perangkat seluler, membuat kita semakin dimudahkan dalam berselancar di dunia maya. Internet yang dulu hanya tersambung pada perangkat seperti komputer, laptop dan netbook, sekarang dapat digunakan di mana pun dan kapan pun tanpa repot, berkat adanya terminal internet yang lebih kecil dan bisa dibawa ke mana-mana bernama ponsel pintar. Baik ponsel pintar bersistem operasi Android, IOS, atau pun Microsoft.

Adanya internet membuat semua dimensi seakan terlampaui tanpa batasan ruang dan waktu. Selain sebagai media pertukaran data, fungsi internet sebagai media komunikasi yang dapat menghubungkan pengguna lainnya dari seluruh dunia mendorong terciptanya media sosial.

Indonesia adalah pengguna media sosial yang terbilang paling aktif di dunia. Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. 

Sementara hampir setengahnya, berkisar di angka 40%, adalah penggila media sosial. Sebelum muncul platform media sosial seperti facebook, whatsapp, instagram, twitter, dll, pengguna internet di Indonesia sudah meramaikan jagad media sosial bahkan sejak era friendster, Indonesia menempati posisi 10 negara teratas pengakses friendster pada 7 Mei 2009.

Dengan internet dalam genggaman membuat penggunaan media sosial seakan melebur dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua orang bersinggungan dengan internet dan media sosial tiap hari hingga jadi rutinitas yang tidak terpisahkan. 

Bahkan masyarakat saat ini cenderung suka berkomunikasi lewat media sosial daripada berkomunikasi langsung. 

Mereka cenderung malas menemui seseorang secara langsung karena media sosial menawarkan efisiensi dan keringkasan waktu dalam berinteraksi.

Berdasarkan data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sekitar 55,39 persen responden responden mengaku mengakses internet lebih dari enam jam per hari. 

Masyarakat tanpa sadar menghabiskan lebih sering waktu mereka di depan layar ponsel. Teknologi yang harusnya mengefisiensikan waktu, tampaknya jadi bumerang dalam pemanfaatan waktu saat ini.

Media sosial selalu memiliki cara untuk membuat penggunanya merasa dimanjakan, seperti perbaikan dan penambahan fitur, dan lain-lain. Di samping itu, algoritma yang ditetapkan media sosial dewasa ini lebih mementingkan popularitas topik yang dianggap menarik bagi para pengguna media sosial. 

Sebab media sosial lebih mengunggulkan minat (interest) yang kita sukai dan yang mencerminkan diri kita tersebut, membuat kita tanpa sadar terjebak di dalam gemerlap jejaring media sosial.

Tampilan media sosial yang menawarkan ketertarikan dan hal-hal yang kita sukai di sana tidak luput dari peran algoritma yang mempengaruhi di belakang. Dalam ilmu matematika dan komputer, pengertian algoritma adalah suatu prosedur dari langkah demi langkah untuk penghitungan, pemrosesan data dan penalaran otomatis.

Berkat algoritma yang sekarang digunakan, otentisitas dan aktualitas pesan atau informasi yang bersifat real time dan kronologis dikalahkan oleh popularitas topik yang dianggap menarik oleh warganet. Ketertarikan para pengguna media sosial seakan jadi kata kunci intervensi algoritma yang sekarang tengah terjadi.

Contoh salah satu platform media sosial yang mencokolkan algoritma sejenis adalah facebook dan instagram. Coba amati dengan seksama konten di beranda FB dan IG kita dan bandingkan dengan beranda orang lain, sama kah tampilan-tampilan beranda tersebut?

FB dan IG mengumpulkan dan menganalisis riwayat penjelajahan akun media sosial yang dilakukan oleh para pengguna. 

Semua informasi seperti riwayat klik, suka, komentar, pencarian, teman-teman, lokasi, hingga pandangan politik akan dicatatat dan digunakan untuk memutuskan informasi yang muncul dan tidak muncul di beranda kita. 

Informasi yang dianggap sesuai dengan minat kita. Upaya tersebut dilakukan lewat algoritma, sebab itulah yang membuat tampilan beranda tiap orang berbeda-beda.

FB dan IG tidak hanya menampilkan kesukaan dan ketertarikan kita, tetapi turut pula menyajikan konten yang memiliki daya tarik emosional seperti informasi pernikahan, kesempatan sekolah, dan informasi lain yang sifatnya membagikan kebahagiaan. 

Algoritma media sosial berhasil membantu pengguna menemukan cerita-cerita terbaik untuk dibicarakan bersama dengan keluarga.  Algoritma tersebut juga berlaku sama terhadap konten yang berisi emosi negatif seperti kekhawatiran, kecemasan dan informasi pendorong kebencian.

Celakanya algoritma tersebut menciptakan gelembung tidak terlihat yang memisahkan kita dari sudut pandang yang berlawanan dengan kita. Kita hanya mendapat informasi dari pihak yang sepemahaman dengan kita sehingga kita terisolasi secara intelektual sebab situs yang dibagikan cenderung berisi informasi yang mengonfirmasi kepercayaan kita.

Algoritma tersebut memunculkan fenomena Filter Bubble Efect. Efek filter bubble dan algoritma seakan meminggirkan elemen-elemen jurnalistik terkait informasi yang disebarkan di sana. 

Akurasi konten di media sosial semakin mengabaikan kedalaman dan kekomplitan dua sisi demi mengutamakan popularitas dan relevansi topik yang kini terbias dan terdistorsi. 

Implikasi algoritma tersebut juga dikhawatirkan akan menjadi alat eksploitasi terhadap pengguna media sosial. Pasalnya, penggunaan algoritma dapat digunakan para pemilik platform sebagai alat untuk memonetisasi penggunanya.

Beberapa mesin pencari seperti Google berusaha mengoptimalkan algoritma mesinnya agar dapat membangun basisi data yang komprehensif tentang data profil dan karakter dari pelaku tiap-tiap penggunanya untuk industri pengiklanan.

FB dan IG tidak pernah menghapus data yang pernah dituliskan di dalamnya, entah itu status, teman yang dibatalkan, hubungan masa lalu, nama sebelumnya, dll. Bahkan ketika Anda menghapus beberapa konten dalam akun, mereka tidak benar-benar menghapusnya.

Setiap kali kita membuka medsos, waktu, lokasi, alamat IP, browser dan perangkat kita telah direkam. Kapan pun kita memposting foto di FB dan IG, kita menambah kekayaan data kepada mereka yang akhirnya dapat mendeteksi wajah manusia dengan akurasi 98 persen.

Dewasa ini, terdapat pula aplikasi. Katakanlah kita menginstal aplikasi FB dan IG di telepon, lalu kita mengizinkan apliikasi melihat daftar kontak yang ada di dalam ponsel kemudian menyimpan semua informasi tersebut di dalam servernya.

Dari contoh-contoh tersebut saja, tentunya tidak mengherankan jika mereka memiliki cukup data untuk menentukan pola hidup sehari-hari dengan akurasi tinggi. Berapa jarak kantor dari rumah kita, pukul berapa kita biasa bangun dan tidur, hitungan durasi perjalanan dan tujuan kita. Semakin banyak informasi yang kita berikan, semakin mudah kita menjadi target iklan.

Sejak internet menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, tidak seorang pun pemakainya yang lolos dari pengawasannya. Privasi dengan cepat menjadi barang langka. 

Di zaman penjajahan dulu, orang-orang menukar rempah-rempah dengan sejumlah uang, di masa sekarang orang-orang menukar kemudahan yang ditawarkan internet dengan privasi. Tidak hanya FB dan IG, bahkan google, twitter, dan fitur internet lain hampir semua menggunakan rumus algoritma yang hampir sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun