Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menguatnya Politik Identitas dan Jihad Salah Kaprah

24 Mei 2019   22:44 Diperbarui: 24 Mei 2019   22:52 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (PIXABAY.com/GELLINGER)

Kontestasi politik di Indonesia kian menjerumuskan saat identitas, terutama identitas keislaman makin dikapitalisasi. 

Agama Islam yang seharusnya menjadi juru damai malah menjadi semacam badai.  Datang menghantam memporak-porandakan tatanan kerukunan. Cenderung membawa pada perpecahan, pada kehancuran.  Pernyataan di atas bukan bermaksud menista agama Islam karena sebenarnya sudah begitu jelas bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Agama yang membawa kedamaian bagi semesta alam. Namun, Islam yang datang untuk perdamaian berubah menjadi menakutkan karena ulah sebagian orang. 

Usai pemungutan suara 17 April silam, sentimen anti-Islam tak juga tenggelam. Terminologi-terminologi Islam pun bermunculan. Istilah jihad berkali-kali dikumandangka dan dimanifestasikan dengan gerakan massa turun ke jalan.  Bahkan, seorang pria mengucap takbir setelah sebelumnya mengancam akan memenggal leher Jokowi.  Tidak hanya itu, aksi 22 Mei 2019 disamakan dengan Perang Badar.  

Aksi ajakan turun ke jalan karena tak terima dengan kekalahan dikemas sebagai asli bela Islam. Aksi itu disebut jihad, jalan pedang membela Islam. Membelokan Definisi JIhad Bila sebelumnya jihad disalahgunakan oleh kelompok teroris, kini jihad sudah dimaknai secara politis. Sebegitu parah sebenarnya penodaan yang dilakukan mereka kepada ajaran Islam. Tak peduli Ramadan karena menurut mereka, Perang Badar pun terjadi saat Ramadan.  

Di Surabaya, seorang pria membuka pendaftaran Tur Jihad ke Jakarta. Ajakan tur ini sempat meresahkan publik. Pasalnya, para peserta tur digadang-gadang akan bergabung dengan aksi people power, 22 Mei di Jakarta.  

Seorang bocah mengaku sudah mencium bau surga di Jakarta. Foto si bocah dengan narasi siap melakukan jihad pada tanggal 22 Mei 2019 pun viral di media sosial. Bahkan seorang pilot pun menulis bahwa aksi 22 Mei 2019 adalah jihad. Bahkan sang pilot bersedia meninggalkan anaknya yang baru berusia satu tahun dan siap gugur. Ia juga meyakini apa yang dilakukannya adalah jalan Allah. Ia yakin betul, andai ia mati, jasadnya akan tersenyum. 

Konten-konten dengan narasi 22 Mei adalah jihad begitu mudah ditemukan di media sosial. Para politikus berhasil membakar semangat dan emosi masyarakat. Kepentingan politik yang dibumbui sentimen agama ternyata mampu menjaga militansi para pendukungnya. Tidak peduli jihad itu apa. 

Selama istilah jihad masih ampuh memobilisasi massa, maka cara itu akan terus digunakannya. Tidak peduli eksesnya rakyat terbelah.  Karena jangan lupa, pendukung Jokowi pun tak sedikit jumlahnya. Tapi semoga pendukung Jokowi tetap dapat berpikir rasional dan tidak terseret narasi jihad yang tak masuk akal. 

Jihad justru lebih mengarah pada usaha kudeta untuk merengkuh tampuk kuasa. Jihad menjadi alat ukur banci demi kepuasan pribadi. Padahal jihad adalah sesuatu yang mulia. Yang gugur di dalam jihad pun dilabeli gelar syuhada.  

Makanya ganjaran untuk jihad adalah surga. Namun, bila jihad semata dimaknai syahwat politik, maka Islam hanyalah gerombolan anak itik, digiring ke sana-kemari sesuai kepentingan pribadi.  Maka, gerakan 22 Mei 2019 yang mereka sebut dengan jihad adalah penghinaan atas Islam dan makna dari definisi jihad itu sendiri. 

Bagaimana mungkin aksi demonstrasi seperti itu disebut dengan jihad? Dari mana dalilnya membela Prabowo adalah jihad? Sezalim apa Jokowi sampai perlawanan terhadapnya seolah-olah disyariatkan agama? 

Sedurhaka apa Jokowi kepada Islam hingga perlawanan kepadanya dianggap sebagai sesuatu yang begitu mulia?  Apakah Jokowi sudah setara Firaun yang mengeklaim dirinya sebagai Tuhan? Apakah Jokowi sezalim Namrud? Kesalahan apa yang telah dilakukan Jokowi kepada Islam? Seolah aksi 22 Mei adalah kesadaran akidah hingga mengabaikan aspek muamalah. 

Inilah intimidasi sekaligus diskriminasi teologis.  Sebab, pendukung Jokowi pun banyak yang beragama Islam. Apakah kemudian pendukung Jokowi adalah golongan pembangkang Islam? Seruan Jihad kemudian menjadi sosok menyebalkan yang selalu buang angin di pojok ruangan. 

Jihad. ~ Sumber gambar: Twitter Pio Kharismayongha
Jihad. ~ Sumber gambar: Twitter Pio Kharismayongha
Jihad dipersepsikan sekadar algojo oleh orang-orang bermental kerdil.  Jihad tidak lagi menjadi jalan akhir karena justru jihad dijadikan awal perselisihan. Jihad hanya penyalur birahi rasa benci, iri, dengki, dan haus kekuasaan. Andai aksi demonstrasi itu tidak dikemas dengan pernak-pernik agama Islam, tentu tidaklah menjadi persoalan. 

Namun nyatanya, aksi-aksi yang ditujukan kepada Jokowi hampir selalu dalam balutan politisasi agama Islam. Jihad dan Perang Badar salah duanya.  Andai ada kecurangan, silakan ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tidak berkenan, ya silakan turun ke jalan. Namun jangan membungkus aksi itu dengan kemasan Islam. Apalagi mengemasnya sebagai jihad membela agama yang akan mendapatkan balasan surga.  Bukankah cara keji itu yang dilakukan oleh kelompok teroris? 

Mendoktrin orang untuk siap mati. Mencuci otak orang untuk membunuh dengan bom bunuh diri. Sekarang cara itu pun dilakukan sebagian elite politik di negeri ini: jihad adalah mendukung sampai mati Prabowo-Sandi. Mereka memang memodifikasi istilah jihad dengan jihad konstitusional. Namun ini menjadi berlawanan saat mereka justru menyatakan sudah tak percaya dengan jalur legal-formal. 

Bukankah mereka sudah tidak percaya MK?   Mereka pun tak mau melepas istilah jihad. Istilah ini terus dipakai dengan disandingkan dengan istilah konstitusional. Mereka tahu, istilah jihad bagi umat Islam itu sakral. 

Maka dipakai terus dan bahkan ditambah dengan membawa-bawa Perang Badar. Padahal, bila benar mereka punya bukti kecurangan, mestinya tak sulit bagi mereka bertarung di MK. Hakim MK pun pasti akan mengabulkan gugatannya. 

Pertanyaannya, ada atau tidak bukti itu?  Bila memang membela Prabowo itu jihad, kenapa istilah ini tak terdengar saat 2014? Atau Pilpres sebelumnya lagi saat Prabowo berdampingan dengan Megawati.  Dan bila memang pilpres adalah jihad, kenapa tak mati-matian mendukung Hasyim Muzadi atau Maruf Amin yang jelas-jelas seorang kiai?  Padahal, jika memang mereka meyakini aksinya adalah jihad, harusnya mereka juga percaya dengan ketentuan Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun