Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rocky Gerung dan Hermeneutika Kedunguan

21 Mei 2019   18:27 Diperbarui: 21 Mei 2019   18:37 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dungu ~ Sumber gambar: Twitter Komikanu

Sejak mengaku sebagai filsuf, pikiran dan jari sungguh gatal ingin komen Rocky, bukan karena Rocky sebagai persona, tetapi sebagai eksistensi. Konten verbal yang merupakan manifes isi pikirannya ngaco tapi menginfiltrasi pikiran orang. Kalau tidak sepakat, dikatakan "dungu". Rocky dalam setiap retorikanya, kerap mencerminkan kondisi psikopatologis. 

Ini lebih ringan daripada penggemarnya yang mencerminkan retorika terindoktrinasi. Akan tetapi retorika Rocky, sukar di tafsir dari hermeneutik biasa. Sukar bukan berarti sulit difahami, dan mencerminkan "kedunguan" menafsir kata katanya, seperti yang sering ia lontarkan sukar, dikarena Rocky sebagai penutur, kerap menghasilkan teks yang abnormal. 

Teks abnormal yang dimaksud, ialah saat kesadaran si penutur, sudah tidak dapat dipercaya. Komunikasi Rocky mencerminkan adanya distorsi sistematis. Terdistorsi bukan oleh intensinya, tetapi kerusakan internal dalam diri.

Menguliti kata katanya, tidak bisa dengan mencerna secara biasa, tapi mesti melibatkan psikoanalisa dan hermeneutika. Sehingga terbukalah tirai: bahasa dan gramatikanya kacau, acuannya beda dengan orang normal. Kalau kita mengatakan kopi, acuan kita pada minuman warna hitam, dengan rasa dan aroma yang satu maksud. 

Oleh karenanya orang ini tidak, acuannya beda, bicara kopi, acuannya tentang kegelapan. Mencerminkan, psikopatologis yang begitu akut. Memang dengan begitu, tafsir orang menjadi terbuka, bisa ditafsirkan sepositif mungkin oleh penggemarnya, bisa juga secara literal. Sehingga kata-katanya bermata dua: akan benar jika membenarkan, 'dungu' jika tak membenarkan.

Isi dan tafsirnya mengandung subjektifitas yang psikopatik. Katakanlah tentang kitab suci adalah fiksi, makna literalnya jelas itu, kitab adalah khayalan. Bagi dia tafsirannya tidak begitu, parahnya penggemarnya membuat pembenaran untuk mengamininya. Kekhasan penuturan psikopatik meliputi isi pembicaraannya tidak progresif, acuannya berbeda, repetitif, benang merahnya tidak ada. Parahnya ia menikmati kondisi itu, senang saat orang tak mengerti pembicaraannya sendiri.

Narasi Rocky saat berbicara filsafat dan politik, tuturannya tak mengacu pada pengertian yang ajeg dan adekuat. Ia seperti sadomasokis, berbicara hanya untuk menikmati kemarahan orang padanya atas penuturan ngaconya. Kata "dungu" yang ia selalu katakan, mencerminkan kepuasan atas ketidakfahaman orang atas kata katanya. Orang normal, saat orang lain tidak mengerti kata-katanya, akan langsung menyederhanakan, agar difahami. Ia tidak.

Melalui hermeneutik kritis, kita bisa menafsirkan ini: kesadaran macam apa yang ia tuturkan, tidak berdasarkan pada teksnya yang jelas abnormal, tapi pada unconscious intention dibalik katanya yang cuma omong kosong. Bagaimanapun kata kata adalah manifes dari jiwa dan pengalaman seseorang. Sehingga saat penutur memunculkan teks yang abnormal, maka yang ditafsirkan jangan lagi arti dari teksnya, tapi kesadaran apa yang termanifestasikan.

Saat kita sampai pada menelisik area kesadarannya, maka ditemukan fakta psikologis: ia dalam kondisi psikopatik. Jika hanya secara literal, seolah apa yang dibilangnya benar dan logis. Tapi acuan dari kata katanya sungguh abnormal. Menafsirkan bualan Rocky dengan hermeneutika Gadamer, macam mengupas durian dengan silet. 

Mengulitinya harus dengan Habermas, hermeneutik kritis: narasi teksnya kadung abnormal. Kita mesti pakai psikoanalisis, karena dibalik kata katanya tersimpan narasi psikopatis: selalu repetitif, tidak progresif, dan selalu mengacu pada pengertian yang tidak seperti kebanyakan orang. Namun ia klaim itu sebuah kejeniusan.

Itulah mengapa dia selalu bangga disebut profesor sama penggemarnya, padahal ia sadar master saja belum. Tapi ia menikmatinya dan juga sering ia katakan, otaknya berlebih, congkak sekali. Tapi ia malah menikmatinya. Lantas apa kalau bukan psikopatis atau sebuah narsisme? 

Mungkin bisa jadi, itu kenapa dia terlihat menikmati panggungnya di televisi, sebagai yang tidak jelas keahliannya, kadang disebut ahli filsafat, kadang akademisi, kadang pengamat politik. Hal yang jelas kita amati, saat dia menikmati panggungnya, sebagai entah siapa, isinya selalu itu itu aja, tak berkembang menjadi bab, repetitif, dan cuma caci maki melalui retorika kosong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun