Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Runtuhnya "Mimbar" Masjid Kami

22 Mei 2019   20:50 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:01 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mimbar ~ Sumber gambar: Twitter Komikanu

"Masjid yang dikuasai NU paling yang raib hanya sandalnya. Jika dikuasai Muhammadiyah, yang hilang qunutnya. Namun, bila jatuh ke tangan radikal, yang hilang masjidnya". ~ Bukan Quotes

Persaudaraan dan ukhuwah  di masjid sudah pecah dan tercabik-cabik. Pemegang kunci masjid bak malaikat pemegang kunci pintu surga. Ada yang sakit, kita yang ingin masuk, harus dengan tujuan membesuk dengan niat mendoakan agar yang sakit bisa cepat sembuh dari penyakit hatinya, marahmarah dan mengkafirkan.

Kalangan Islam moderat, terutamanya NU, merasa kecolongan atas raibnya ukhuwwah di banyak masjid setelah rombongan tikus-tikus radikal merangsek secara lamban untuk menguasai, yang sengaja mereka lakukan atas nama dakwah di tengah kesadaran kolektif antar mereka yang tidak punya pesantren dan lembaga pendidikan. 

Mereka sadar, untuk mempengaruhi massa, masjid dan media online adalah dua ruang yang harus dikuasai. Di masjid memprovokasi, di media online merusuhi.

Untuk mengembalikan ruh dakwah masjid agar jauh dari mimbar politik pakai metode takfiri, menjelang pemilihan parlemen pada tahun 2014 lalu, pemimpin Maroko, Raja Muhammad VI mengeluarkan maklumat resmi yang melarang para khatib Jumat terlibat dalam aktivitas politik dan juga melarang menyampaikan pandangan politik di mimbar Jumat. 

Larangan itu berbuah stabilitas. Maroko tidak porak-poranda sebagaimana Mesir dan Libya serta negara-negara lain yang tidak membatasi politisasi agama di dalam ruang masjid.

Bagaimana dengan Indonesia? Wacana sertifikasi khatib Jumat dari Menteri Agama jelas tertolak karena masjid-masjid di Indonesia tidak seutuhnya dibangun pemerintah dan tidak memiliki perintah komando langsung. 

Ada masjid yang dibangun oleh konglomerat untuk amal dirinya, ada yang dibangun bersama oleh warga, ada yang berdiri karena sejarah dakwah, tapi ada yang sengaja dibangun sebagai pusat gerakan kelompok radikal.

Lantas langkah kita mau bagaimana? Harusnya, masjid jadi pusat membangun silaturrahim antaranak bangsa. Bukan untuk mencuci otak warga dengan bujukan khilafah sembari menuduh orang lain kafir, sesat, munafik, komunis, syiah, yang pada akhirnya berujung pada glorifikasi ilusi politik, anti pemerintahan yang sah serta ngajak gelut dan membunuh.

Masjid Istiqlal yang berdiri di depan Gereja Katedral, itu adalah simbol persaudaraan warga yang cinta ukhuwwah, sebagaimana juga Masjid al-Hikmah Joyodiningratan yang bersebelahan persis dengan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan, Solo, Jawa Tengah

Bagaimana mau dijadikan sebagai ruang membangun takwa jika di masjid saja sudah bebas teriak membunuh tanpa jelas yang dibunuh? Rumahmu telah diruntuhkan dan diratakan oleh keangkuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun