Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merisak dan Merusak Demokrasi

20 Mei 2019   16:18 Diperbarui: 20 Mei 2019   16:46 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku How Democracies Die mendeteksi tanda-tanda kematian demokrasi. Mereka menemukan bahwa kini ancaman terhadap demokrasi dari sekelompok politisi picik yang merancang sebuah kudeta. Demokrasi mati tidak karena pengerahan tank dan unjuk senjata di jalan-jalakn ibu kota. Demokrasi terancam karena para diktator memenangi pertarungan politik di sebuah pemilu, semisal Hugo Cavez di Venezuela dan beberapa negara juga termasuk dalam golongan upaya merisak sebuah demokrasi.

Ada beberapa ciri tokoh dan kekuatan politik yang teramat potensial menjadi sebuah pemerintahan yang otoriter. Pertama, mereka menolak secara aksi dan opini publik sebuah proses demokrasi termasuk pemilihan umum. Mereka akan menuduh segala proses demokrasi tidak sah sejak awal tanpa memberikan bukti jelas, membuat narasi-narasi hasutan mendeligitimasi pemilihan. Kedua, berupaya menjatuhkan posisi lawan politik secara tidak sehat, membuat narasi bahwa lawannya adalah kelompok yang tidak baik dan perlu disingkarkan sebagaiman dalam Indonesia mengecap lawanya dengan sebutan anak PKI. Tentu ini perilaku yang teramat jauh dari etika kemanusiaan. Ketiga, mereka memakai segala upaya yang culas dan cenderung memakai kekerasan. Keempat, mereka menunjukan sebuah indikasi untuk mengurangi partisipasi sipil untuk mendapatkan kebebasan berpendapat dan berserikat.

Politikus yang sekurangnya memiliki salah satu ciri tersebut patut diwaspadai, apalagi keempat ciri tadi melekat dalam satu sosok sentral. Tentu ini merupakan ancaman yang nyata, politikus semacam itu perlu dieliminasi dari sebuah percaturan kekuasaan. Apabila tanda muncul nyata dalam manifestasi tindakan pada satu penguasa, besar kemungkinan mereka akan memperalat pemilihan untuk menduduki sebuah kekuasaan dalam durasi yang relatif lama.

Tentu kita harus memiliki kiat untuk menjauhkan dari politikus diktator yang merusak dan merisak demokrasi. Strategi pengambil jarak sebagaimana dilontarkan Nancy Bermeo. Sebuah partai politik secara sadar menegasikan kader partai yang memiiki karakter otoriter. Basis pendukung di lapisan masyarakat bawah perlu menjadi prioritas ditumpas dengan penyetopan suplai finansial untuk membatasi gerakannya. Menghindarkan diri dari sebuah koalisi dengan tokoh yang terkesan diktator menjadi langkah yang perlu dilakukan.

Berbagai lapisan masyakat yang mendukung pemerintahan yang demokratis tentu harus bahu membahu di setiap kesempatan. Ego diri dan kelompok perlu disingkarkan di pojok ruang hati. Segala potensi dan daya perlu digunakan untuk melawan figur otoriter dalam proses pemilihan pemimpin. Segala kontribusi sekecil apapun perlu diapresiasi supaya sistem politik jauh dari rongrongan kehancuran dari dalam diri bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun