Usai peristiwa penembakan yang terjadi di masjid  daerah Cristchruch, Selandia Baru. Saya sempat terpikir sesuatu, bagaimana kebencian bisa menguasai seseorang sehingga membuat tindakan yang begitu biadab, membunuh orang yang sedang beribadah. Apa sebenarnya yang merasuki dirinya sehingga manusia abai dan membiarkan rasa kebencian terhadap sesuatu membuncah dan terluap-luap sehingga membutakan mata kemanusiaannya.
Rasa kebencian begitu membekas dan melejit masuk dalam ulu hati, begitu mudah untuk dipatik agar kian membara, direproduksi dalam berbagai bentuk sehingga muncul dalam bentuk kekerasan diri. Sebuah hasutan kebencian kian disebarkan ke segala arah dan merangsek kehidupan komunal yang sebelumnya tentram.
Kosakata dalam kehidupan kita bertambah dengan kebencian. Membenci segala yang berbeda dengan dirinya. Kita mungkin begitu menganggap biasa kebencian sehingga kebencian tersebut dijadikan hal yang lumrah dan alami mengalir dalam diri.
Namun sebagai catatan bahwa merebaknya kebencian secara luas tidak karena sifat dasar manusia yakni membenci. Ketidakpahaman dalam diri sendiri tentang rasa kebencian itu disebarkan oleh keengganan mengkoreksi diri dan membiarkan kebiasaan tersebut begitu saja.
Lalu bagaimana kita memutus rantai kebencian tersebut? Sudahkah kita lepas dari jerat-jerat kebencian?
Miftah Effendi, Jurnalis CNN yang meliput penyintas Bom Bali 17 silam bercerita dalam buku Belajar Ikhlas dari Para Penyintas. Ia begitu apik menceritakan rintangan yang dihadapi untuk mewartakan proses rekonsiliasi pasca Bom tersebut.
Ia menceritakan tentang pertemuan  Hayati dimana suaminya menjadi korban dalam peristiwa tersebut dengan Zulia sebagai anak Amrozi, pelaku Bom Bali tahun 2002.
Ia sebelumnya juga menceritakan tentang kehidupan sebelum pertemuan tersebut. Hayati begitu menyimpan dendam dengan Zulia, sampai anak sulung Hayati depresi dan begitu berkeinginan membalas dendam ayahnya yang sebelumya menjadi korban.
Di lain sisi, Zulia juga hidup termarjinalkan karena stigma menjadi anak teroris begitu melekat. Zulia begitu dikucilkan masyarakat dan bergelut dengan perasaan duka dan emosi diri.
Di satu waktu ia menyayangi ayahnya, namun ia juga menyesali mengapa ayahnya tega menghilangkan nyawa dan kehidupan banyak orang. Zulia sempat berkeinginan untuk meneruskan wasiat ayahnya, namun ia tersadar.
Kebencian tidak akan mengembalikan apapun yang telah hilang dari diri mereka. Mewartakan perdamaian dan menepis balas dendam menjadi hal yang paling fundamen. Menolong para eks kombatan menjadi pekerjaan rumah bersama agar terhindar dari gerakan kelompok kekerasan.
Menciptakan hari dengan harapan yang kian tersemai dalam diri. Bertemunya wajah dengan wajah lain dengan berupaya menangkis kecurigaaan, kebencian dan segresi diri, karena memang teramat sulit melepaskan diri dari kebencian. Hal tersebut memerlukan usaha lebih untuk merelakan sesuatu yang telah hilang dan berbelas kasih dengan sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H