Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi, Siapa Jagoan Kaum Sarungan?

10 Maret 2019   17:48 Diperbarui: 11 Maret 2019   03:36 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri Bersarung || Sumber gambar: Wajibacadotcom.

Perihal calon presiden, sejumlah kiai Nahdlatul Ulama terbelah. Apa yang akan dilakukan oleh kubu Jokowi dan Prabowo untuk membujuk mereka?

Nahdlatul Ulama adalah lahan yang diperebutkan oleh para politisi, dengan massa terbesar di Indonesia, organisasi keagamaan yang dalam lintas sejarah telah menjadi ladang sasaran untuk meraup dan mendulang suara kontestasi politik, tak terkecuali dalam pemilihan presiden kali ini.

Di tengah suhu politik yang kian panas, para tokoh NU selayaknya mewanti-wanti dan memperhitungkan langkah mereka untuk menghindarkan polarisasi yang tajam imbas dari persaingan antara kedua pasangan calon tersebut. 

Perebutan suara dalam lumbung NU kian kentara dalam berbagai bentuk dari kunjungan pasangan calon ke pesantren, pemberian sumbangan sampai mempolitisir doa sesepuh kiai yang berpengaruh di daerah yang dikunjungi.

Pasangan petahana Joko Widodo telah memainkan kartu ini dengan memilih Maruf Amin sebagai cawapresnya. Inkumben berharap bisa memainkan Maruf Amin dalam dua peran sekaligus penangkal tudingan anti Islam dari simpatisan 212 serta menjadi magnet penarik suara kaum sarungan. 

Dalam kancah perpolitikan Indonesia kali ini, patut menjadi catatan yang perlu dikoreksi bahwa beberapa elit NU mengambil langkah politik yang teramat pragmatis.

Ketika mengeliminasi Mahfud Md dan memuluskan Maruf Amin dalam injury time pencalonan wapres Jokowi, Ketum PBNU saat itu dan Ketum PKB berkolaborasi dan mengatakan bahwa suara kaum sarungan akan meningalkan inkumben jika tidak memilh kadernya sebagai wapresnya. Langkah ini seakan menempatkan NU bukan lagi sebagai organisasi keagamaan. 

Organisasi NU seharusnya akan lebih baik bekerja untuk memajukan masyarakat, bukan terjebak dalam politik praktik yang kian mempolarisasi masyarakat.

Kubu Prabowo- Sandi juga bergerilya dan berusaha mendapatkan menarik simpati dan dukungan dari tokoh-tokoh Nu di tingkat daerah. Selain mengunjungi pondok pesantren, mereka juga menggalang sekelompok tokoh agar menyerukan perlunya NU kembali ke khittah, satu hal yang kita bisa pahami sebagai usaha untuk menggembosi dukungan suara kaum sarungan. 

Dalam istilah khittah yang berarti garis kemudian ditarik makna politik baru yaitu kembali ke tengah dengan tujuan menggerus suara kaum sarungan yang sebelumnya berlabuh ke kubu inkumben.

Dalam lintasan sejarah, makna khittah sebetulnya merupakan strategi untuk menjaga agar NU tidak terombang ambing dalam perbagai kepentingan politik.

NU pernah menjadi partai politik pada awal kemerdekaan dan Orde Lama serta menyokong lahirnya Orde Baru pada tahun 1965. Pada masa pemerintahan Soeharto, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Parmusi bergabung menjadi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. 

Namun pada tahun 1984, NU memutuskan untuk mundur dari politik praktis. Keputusan ini diambil oleh politikus, cendekiawan, dan kaum Ulama dalam Muktamar di Situbondo, Jawa Timur. Gus Dur yang pada waktu itu menjadi PBNU menyatakan bahwa NU perlu mewarnai di setiap sendi-sendi kehidupan. Dengan terpisahnya NU dari partai politik, NU justru bisa mengepakkan sayap lebih lebar di panggung politik untuk meraih kemaslahatan jangka panjang. Terhitung sejak kembali ke khittah, para pengurus NU dilarang merangkap jabatan di partai politik. 

Kemudian NU bertranformasi mengembangkan kiprahnya di bidang keagamaan melalui berbagai platform, yakni dengan mendekatkan diri dengan pemegang kebijakan dan mereformasi cara berpikir kaum tradisionalis.

Mendekatkan dengan penguasa tidak meenjadi penjilat yang mengekor namun hal ini dilakukan agar NU tidak hanya sekedar menjadi penggembira saja. Adapun reformasi berpikir dilakukan oleh kaum muda NU yang ikut beperan serta memperkuat pemikiran organisasi samapi kini. 

Dengan langkah tersebut, NU terbukti menjadi garda depan moderasi Islam dimana hal ini begitu penting terutama di tengah kebangkitan radikalisme dan konservatisme Islam akhir-akhir ini.

Walaupun NU bukanlah sebuah organisasi homogen, langkah dan peran dalam menebarkan pesan moderasi Islam itulah yang menjadi poin penting garis perjuangan. Soliditas organisasi harus terus dijaga dengan tidak masuk lingkaran dukung-mendukung dalam pemilihan serentak kali ini. 

Dalam kasus ini, tentu para kiai memegang peran sentral untuk menjaga basis akar rumput nahdliyin terbelah, karena titah kiai seringnya didengar dan dijadikan rujukan oleh para santrinya. Dengan langkah tersebut tentu NU akan tetap berada dalam khittahnya, tidak kemana-mana, namun ada dimana-mana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun