Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi, Siapa Jagoan Kaum Sarungan?

10 Maret 2019   17:48 Diperbarui: 11 Maret 2019   03:36 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lintasan sejarah, makna khittah sebetulnya merupakan strategi untuk menjaga agar NU tidak terombang ambing dalam perbagai kepentingan politik.

NU pernah menjadi partai politik pada awal kemerdekaan dan Orde Lama serta menyokong lahirnya Orde Baru pada tahun 1965. Pada masa pemerintahan Soeharto, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Parmusi bergabung menjadi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. 

Namun pada tahun 1984, NU memutuskan untuk mundur dari politik praktis. Keputusan ini diambil oleh politikus, cendekiawan, dan kaum Ulama dalam Muktamar di Situbondo, Jawa Timur. Gus Dur yang pada waktu itu menjadi PBNU menyatakan bahwa NU perlu mewarnai di setiap sendi-sendi kehidupan. Dengan terpisahnya NU dari partai politik, NU justru bisa mengepakkan sayap lebih lebar di panggung politik untuk meraih kemaslahatan jangka panjang. Terhitung sejak kembali ke khittah, para pengurus NU dilarang merangkap jabatan di partai politik. 

Kemudian NU bertranformasi mengembangkan kiprahnya di bidang keagamaan melalui berbagai platform, yakni dengan mendekatkan diri dengan pemegang kebijakan dan mereformasi cara berpikir kaum tradisionalis.

Mendekatkan dengan penguasa tidak meenjadi penjilat yang mengekor namun hal ini dilakukan agar NU tidak hanya sekedar menjadi penggembira saja. Adapun reformasi berpikir dilakukan oleh kaum muda NU yang ikut beperan serta memperkuat pemikiran organisasi samapi kini. 

Dengan langkah tersebut, NU terbukti menjadi garda depan moderasi Islam dimana hal ini begitu penting terutama di tengah kebangkitan radikalisme dan konservatisme Islam akhir-akhir ini.

Walaupun NU bukanlah sebuah organisasi homogen, langkah dan peran dalam menebarkan pesan moderasi Islam itulah yang menjadi poin penting garis perjuangan. Soliditas organisasi harus terus dijaga dengan tidak masuk lingkaran dukung-mendukung dalam pemilihan serentak kali ini. 

Dalam kasus ini, tentu para kiai memegang peran sentral untuk menjaga basis akar rumput nahdliyin terbelah, karena titah kiai seringnya didengar dan dijadikan rujukan oleh para santrinya. Dengan langkah tersebut tentu NU akan tetap berada dalam khittahnya, tidak kemana-mana, namun ada dimana-mana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun