Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengurai Sesat Pikir Literasi

2 Januari 2019   11:36 Diperbarui: 2 Januari 2019   12:20 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memang negara yang kebudayaan literasinya di bawah rata-rata. 

Namun apakah benar di saat dunia analog sudah berubah ke era digital kegiatan literasi buku masih menjadi acuan dan ukuran literasi? Apakah iya, internet menjadi biang kerok atas bobroknya literasi Indonesia. Bagaimana kita mendefinisikan dan seperti apa bentuk ideal dari sebuah literasi? Bagaimana kita memetakan literasi di dunia digital. 

Literasi secara umum memiliki arti kemampuan menulis dan literasi. Arti ini adalah kemampuan individu untuk memproduksi dan menerima olahan berita atau informasi yang disampaikan untuk kecakapan sesuatu. Literasi juga memiliki arti sebuah pengetahuan atau keterampilan dalam bidang aktivitas tertentu. Arti ini menjurus dalam sebuah akumulasi pola pikir manusia dalam menyelesaikan tindakan. 

Fenomena lemahnya budaya literasi di tengah masyarakat, menjadi keprihatinan banyak pihak. Padahal, semangat literasi telah dicontohkan para ulama dan cendekiawan terdahulu. Tidak hanya literasi namun mendalami bacaan secara serius, dalam bahasa Arab disebut muthola'ah. Para ulama terdahulu selalu menyempatkan waktu untuk literasi dan mendalami berbagai kitab kuning. Tidak mungkin mereka mewariskan sejumlah karya ilmiah tanpa memiliki budaya literasi yang serius. 

Kalau kita amati generasi saat ini yang dikuasai oleh konsumerisme dan hedonisme kurang memiliki semangat literasi. Jika budaya literasi dari satu generasi ke generasi dan selanjutnya tidak menunjukkan progres yang menggembirakan, bagaimana mungkin mampu mencetak peradaban yang mengagumkan. Akibatnya tidak ada warisan karya ilmiah apapun yang ditinggalkan untuk generasi mendatang. Perkembangan teknologi saat ini lebih banyak berbentuk audio, visual, maupun perpaduan antara keduanya. 

Hal ini membuat masyarakat menjadi manja dengan kebiasaan menonton dan mendengarkan, ketimbang semangat literasi. Lebih senang menonton sinetron dan reality show di layar televisi, atau mendengarkan debat kusir pendukung capres-cawapres. Masyarakat lebih senang mendengarkan ceramah, apalagi yang lucu dan seru, daripada berliterasi untuk menggali ilmu pengetahuan. Bagi yang memiliki semangat literasi akan dikatakan kutu buku yang kadang diasingkan dari lingkungan sekitarnya. Singkat kata bahwa generasi saat ini masih miskin bacaan. 

Banyak ungkapan yang bisa dijadikan motivasi pentingnya semangat literasi. Antara lain tulisan yang terpampang di dinding perpustakaan seperti, membaca membuka jendela dunia atau membaca membuka wacana, serta ungkapan lain untuk mengilustrasikan betapa pentingnya berliterasi. Lihat saja kemajuan peradaban Islam pada masa awal Islam tidak terlepas dari tradisi dan etos literasi para cendekiawan muslim. 

Keinginan kuat meningkatkan kualitas diri dan membuka cakrawala dunia menjadi karakter kosmopolitanisme, semakin menggugah jiwa untuk menjadikan tradisi literasi sebagai bagian terpenting dalam kehidupan. Didukung kemampuan bahasa dalam melakukan penerjemahan karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Romawi ke dunia Islam. Langkah itu berhasil mengubah wajah peradaban Islam secara menyeluruh dan holistik. 

Tradisi tersebut melahirkan cendekiawan muslim yang tersohor di bidang masing-masing dengan menampilkan karya fenomenal yang menjadi rujukan generasi berikutnya. Hal itu diawali dengan tradisi literasi dan menulis yang terus diasah setiap saat selama beberapa generasi. Mestinya saat ini dengan semakin terbukanya akses untuk menggali ilmu pengetahuan, baik digital maupun manual, akan mampu menghasilkan generasi yang berkualitas. 

Ditandai dengan karya yang bisa diakses dan dinikmati generasi sekarang dan masa depan secara digital. Bisa dikatakan bahwa literasi adalah syarat utama membangun peradaban. Semakin luas pembacaan ilmu pengetahuan, semakin tinggi peradaban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun