Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membingkai Kemiskinan dalam Program "Reality Show"

20 November 2018   16:48 Diperbarui: 21 November 2018   07:43 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang nenek sedang berjualan di pasar || Sumber gambar: Haris Fauzi Photos

Reality show seringkali melibatkan orang biasa dalam memproduksi tayangan kepada khalayak, jenis tayangan ini memiliki dua jenis pemisahana, pemisahan antara informasi dan hiburan, dan juga pemisahan antara film dokumenter dan drama. 

Di abad 21 ini, jenis tayangan reality show memiliki kontribusi yang besar untuk pundi-pundi pemasukan studi televisi secara umum tak terkecuali di Indonesia.

Fenomena seperti ini sering menjadi sisi negatif yang dikritik oleh para pakar media.

Tayangan reality seperti itu tidak ubahnya menjadikan penonton sebagai tukang mengintip privasi orang lain, program murahan yang berorientasi sensasional.

Reality show bisa jadi ada dan booming karena program tayangannya bodoh dan membodohi.

Jikalau kita lebih jauh lagi melihat soal privasi, seharusnya ranah itu mendapatkan perlindungan.

Banyak dari pemeran biasa yang tampil mungkin tidak sadar dengan soal privasi, yang harusnya dilindungi.

Seolah-olah mereka takluk akan kuasa kamera, karena mungkin baginya kamera mewakili kepentingan yang jauh lebih tinggi dari dirinya, atau mewakili suatu kebenaran yang ekplisit maupun implisit dalam proses pembentukannya. 

Kuasa kamera menjadi bos yang harus dituruti dan dipahami, dibiarkan secara bebas mengambil tayangan dari sudut manapun yang dikehendakinya. Kuasa kamera untuk menghadirkan bayangan yang sangat melodramatik.

Nyaris tidak ada yang melontarkan protes ketika tahu, kamera menyorot muka mereka, menyorot tindak perilaku dan parahnya mereka terpaksa akting di depannya.

Tayangan uang kaget-kagetan dan bedah membedah tak ubahnya hanya pertunjukan bisnis. Bukan merupakan bakti sosial atau acara solidaritas dari uang yang telah diberikan. Pemberi materi tak sampai berpikir akan diapakan uang yang telah diterima oleh si penerima. 

Kita harus melihat dari sisi bisnis pertunjukan, ada kesenjangan dan gegar budaya bagi kaum papa.

Tragisnya kita sebagai penonton menikmati keasyikan gegar budaya ini. Kita bisa menertawakan sepuasnya, begitu pula logika penonton yang dibuat oleh para produser. Sungguh naif sekali sikap-sikap ini.

Penonton di sini dituntut cerdas dan selektif memilih tayangan untuk dikonsumsi, tanpa melarang tayangan seperti itu. Tak menjadikan tayangan pembohongan jadi wakil dari sebuah kebenaran.

Jangan pula berangan untuk menjadi pemeran berikutnya, kapan saya mendapatkan sejumlah uang dalam durasi tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun