Reality show seringkali melibatkan orang biasa dalam memproduksi tayangan kepada khalayak, jenis tayangan ini memiliki dua jenis pemisahana, pemisahan antara informasi dan hiburan, dan juga pemisahan antara film dokumenter dan drama.Â
Di abad 21 ini, jenis tayangan reality show memiliki kontribusi yang besar untuk pundi-pundi pemasukan studi televisi secara umum tak terkecuali di Indonesia.
Fenomena seperti ini sering menjadi sisi negatif yang dikritik oleh para pakar media.
Tayangan reality seperti itu tidak ubahnya menjadikan penonton sebagai tukang mengintip privasi orang lain, program murahan yang berorientasi sensasional.
Reality show bisa jadi ada dan booming karena program tayangannya bodoh dan membodohi.
Jikalau kita lebih jauh lagi melihat soal privasi, seharusnya ranah itu mendapatkan perlindungan.
Banyak dari pemeran biasa yang tampil mungkin tidak sadar dengan soal privasi, yang harusnya dilindungi.
Seolah-olah mereka takluk akan kuasa kamera, karena mungkin baginya kamera mewakili kepentingan yang jauh lebih tinggi dari dirinya, atau mewakili suatu kebenaran yang ekplisit maupun implisit dalam proses pembentukannya.Â
Kuasa kamera menjadi bos yang harus dituruti dan dipahami, dibiarkan secara bebas mengambil tayangan dari sudut manapun yang dikehendakinya. Kuasa kamera untuk menghadirkan bayangan yang sangat melodramatik.
Nyaris tidak ada yang melontarkan protes ketika tahu, kamera menyorot muka mereka, menyorot tindak perilaku dan parahnya mereka terpaksa akting di depannya.