Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Adil Sejak Pikiran

17 Oktober 2018   16:42 Diperbarui: 17 Oktober 2018   16:48 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadilan adalah salah satu topik dalam filsafat yang paling banyak dikaji. Teori-teori  hukum alam yang mengutamakan the search for justice sejak socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Masalah keadilan adalah sebuah masalah yang menarik untuk ditelaah lebih dalam karena banyak hal yang terkait di dalamnya, baik dengan moralitas, sistem kenegaraan, dan kehidupan bermasyarakat. 

Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat yunani. Bahkan dalam Islam, keadilan mendapat porsi yang paling penting di antara kajian-kajian lainnya. 

Islam sebagai agama diharapkan perannya dalam menegakkan keadilan dan mengembangkan etika keadilan. Karenanya pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang sangat luas bagi setiap pribadi manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. 

Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.

Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga akan sulit mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi keadilan yang paling tidak mendekati dan memberi gambaran arti keadilan. 

Definisi keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan. 

Thomas Aquinas membedakan keadilan dalam dua kelompok, yaitu keadilan umum atau keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum dan dan keadilan khusus yang didasarkan atas kesamaan atau proporsionalitas.

Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya.

Konsep keadilan sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. 

Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari'ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. 

Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.

Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.

Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang, bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. 

Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.

Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya.

Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu, sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan absolut. Jadi, dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan, saling mencintai, bahu membahu dan saling tolong menolong, baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun