Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bagaimana Islam Memandang Praktik "Berkebun Emas"?

27 September 2018   08:00 Diperbarui: 27 September 2018   08:21 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bongkahan emas senilai Rp. 1 Miliar ditemukan di Australia Barat. || Sumber Gambar : Detikdotcom

Pada dasarnya hukum setiap muamalah adalah boleh, selama syarat dan ketentuannya sesuai dengan hukum syariat, tidak ada Ghoror (penipuan), tidak ada unsur maisir (perjudian), dan tidak memakan harta orang lain secara dzolim. Sebagaimana Firman Allah subhanahu wata'ala dalam (QS: Al-Baqarah : 275) :

Artinya : " Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"      

Berkebun emas sebenarnya hanya memanfaatkan jasa gadai untuk menggadaikan emas dan akan mendapatkan pinjaman dari pegadaian. Nantinya uang tersebut akan digunakan kembali untuk membeli emas lagi. Emas tersebut akan digadaikan lagi dan setelah mendapatkan uang, akan digunakan kembali untuk membeli emas. Begitu seterusnya.

Begitu juga hukum dari menggadaikan emas adalah boleh saja. Sebagaimana fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No: 26 Tahun 2002.

Berkebun Emas akan mendapatkan untung dari selisih kenaikan harga emas atau inflasi harga dengan biaya Ijarah dan administrasi pegadaian. Jika harga emas naik tajam maka emas di pegadain ditebus untuk kemudian dijual.

Tetapi dalam berkebun Emas ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Diantaranya adalah asumsi yang digunakan untuk memperoleh keuntungan dari berkebun emas.

Pertama, membeli emas dengan harga normal, kemudian menggadaikannya untuk memperoleh cash 80% dari harga beli emas pertama. Setelah ditambah 20% tambahan modal, maka uang gadai yang diterima cukup untuk membeli emas yang kedua dst. Begitu seterusnya sampai suatu titik dimana emas yang dibeli tidak digadaikan lagi, tetapi dijual untuk menebus emas-emas yang digadaikan di awal.

Teorinya keuntungan akan diperoleh ketika emas naik 30% sedangkan pinjaman dari pegadaian atau bank syariah tetap/tidak naik, diluar biaya penitipan, admin dsb. Asumsi pertama bahwa emas akan naik 30% sebenarnya tidak terlalu meleset karena memang appresiasi harga emas rata-rata tahunan dalam 40 tahun terakhir mencapai 31 %; yang perlu diingat adalah angka tersebut adalah rata-rata 40 tahun, atau rata-rata jangka panjang. Semakin pendek periode, semakin tidak pasti kenaikan ini. 

Dari sini kita bisa lihat ada indikasi maisir atau pertaruhan. Jika emas benar naik 30% pertahun maka akan mendapat untung sehingga bisa membayar hutang kepada pegadaian. Tetapi jika harga emas tidak naik sebesar 30 % atau bahkan akan turun maka akan terjadi kerugian yang tidak sedikit pula. Jika benar terjadi penurunan harga emas maka pasti krisis ekonomi akan benar-benar parah. Karena kegiatan ekonomi tidak berdasarkan sektor riil. Tetapi hanya permainan emas untuk digandakan menunggu kenaikan harga emas.

Jadi kekeliruan pertama dari teori ini adalah menggunakan rata-rata statistik jangka panjang untuk men-justifikasi tujuan atau harapan jangka pendek. Dan ada unsur maisir (perjudian) karena keuntungan hanya menunggu ketika harga emas minimal 30 %.

Kedua, asumsi bahwa angka pinjaman dari pegadaian atau bank syariah yang tetap ( diluar biaya penitipan atau administrasi). Justru biaya penitipan atau administrasi inilah yang harus diperhatikan, biaya ini bisa mencapai 1% per 15 hari atau 2% per bulan.

Bahkan disebutkan bahwa sebagai biaya pemeliharaan ini mencapai Rp.5.500/gram/bulan pada saat harga emas 24 karat Rp 312,000/gram atau 1.76%/bulan. Besaran biaya di pegadaian yang 2% per bulan atau bank syariah 1.76% ini secara rata-rata menjadi terlalu mahal untuk mengongkosi pembelian emas yang hanya mengalami apresiasi nilai rata-rata 1.46% per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Fluktuasi naik turunnya harga emas bulanan yang sangat tinggi, menambah risiko kita ketika membiayai pembelian emas dengan uang gadai atau pinjaman dari bank. Kerugian ini bisa kita  ketahui dengan melihat net worth (jumlah emas terkumpul dikurangi jumlah hutang gadai/bank) yang lebih kecil dari jumlah dana yang sudah kita tanamkan pada investasi ini.

Jadi Asumsi kita akan mendapat untung dari selisih kenaikan harga emas di tahun depan dikurangi biaya administrasi pegadaian adalah asumsi yang sangat mungkin salah. Karena kenaikan emasnya tidak pasti dan biaya administrasi yang mahal.

Syariat islam sangat menganjurkan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada sektor riil. Bukan hanya perputaran uang dilipatkan menjadi uang lagi. Makanya diharamkan Riba dalam hutang agar tidak terjadi penghasilan uang dari uang. Begitu juga dengan emas. Karena pada dasarnya emas adalah alat tukar abadi yang selalu menjadi patokan harga sampai kapanpun. Meskipun emas bukan menjadi alat tukar yang sah. Dalam sistem Berkebun Emas, yang berputar hanyalah antara emas dan uang yang sebenarnya keduanya berupa alat tukar.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Berkebun Emas dalam pandangan syariah mengandung unsur maisir yang diharamkan dalam hukum islam. Dan juga dalam menetapkan besarnya biaya administrasi dalam sebuah pegadaian, tidaklah boleh didasarkan pada besarnya pinjaman tetapi dari kebutuhan biaya pemeliharaan dari barang gadai tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun