Bahkan disebutkan bahwa sebagai biaya pemeliharaan ini mencapai Rp.5.500/gram/bulan pada saat harga emas 24 karat Rp 312,000/gram atau 1.76%/bulan. Besaran biaya di pegadaian yang 2% per bulan atau bank syariah 1.76% ini secara rata-rata menjadi terlalu mahal untuk mengongkosi pembelian emas yang hanya mengalami apresiasi nilai rata-rata 1.46% per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Fluktuasi naik turunnya harga emas bulanan yang sangat tinggi, menambah risiko kita ketika membiayai pembelian emas dengan uang gadai atau pinjaman dari bank. Kerugian ini bisa kita  ketahui dengan melihat net worth (jumlah emas terkumpul dikurangi jumlah hutang gadai/bank) yang lebih kecil dari jumlah dana yang sudah kita tanamkan pada investasi ini.
Jadi Asumsi kita akan mendapat untung dari selisih kenaikan harga emas di tahun depan dikurangi biaya administrasi pegadaian adalah asumsi yang sangat mungkin salah. Karena kenaikan emasnya tidak pasti dan biaya administrasi yang mahal.
Syariat islam sangat menganjurkan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada sektor riil. Bukan hanya perputaran uang dilipatkan menjadi uang lagi. Makanya diharamkan Riba dalam hutang agar tidak terjadi penghasilan uang dari uang. Begitu juga dengan emas. Karena pada dasarnya emas adalah alat tukar abadi yang selalu menjadi patokan harga sampai kapanpun. Meskipun emas bukan menjadi alat tukar yang sah. Dalam sistem Berkebun Emas, yang berputar hanyalah antara emas dan uang yang sebenarnya keduanya berupa alat tukar.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Berkebun Emas dalam pandangan syariah mengandung unsur maisir yang diharamkan dalam hukum islam. Dan juga dalam menetapkan besarnya biaya administrasi dalam sebuah pegadaian, tidaklah boleh didasarkan pada besarnya pinjaman tetapi dari kebutuhan biaya pemeliharaan dari barang gadai tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H