Pemimpin yang Mengayomi
Ketika sedang kuliah, dosen saya bercerita bahwa ia pernah bertemu dengan Dr. Abdul Mun'im Idris, salah seorang pengajar di Universitas Umm al-Qura Makkah, beberapa waktu lalu, saya bertanya: "Mengapa Arab Saudi masih mempertahankan sistem kerajaan? Bukankah di negara-negara lain sistem ini telah mulai ditinggalkan atau paling tidak dikurangi perannya?"
Tanpa saya duga, ia menjawab aneh. "Bagi rakyat Saudi lebih baik dipimpin oleh raja yang benar-benar memikirkan rakyat dari pada dipimpin pejabat hasil pemilu tapi tidak memikirkan rakyat. Pemimpin yang memiliki beban untuk mengembalikan hutang kepada para pengusaha yang mengongkosinya dalam pemilu, bagaimana mereka bisa menyejahterakan rakyat?" Saya tertegun mendengar jawaban itu.
Dalam sistem demokrasi, memang, para pemimpin terpilih yang ngibuli rakyat bisa dihukum konstituen pada pemilu berikutnya. Tapi bukankah itu terlalu lama? Ibarat sebuah pesawat, waktu lima tahun telah cukup membuat negara melenceng sampai jauh. Nah, pemimpin bisa menjadi pilot bisa juga menjadi pembajak. Lho, kok? Pembajak memang berbeda dengan pilot. Paling tidak terdapat lima perbedaan antara keduanya.
Pertama, bila pilot tidak pernah memaksakan keinginannya dalam bepergian, pembajak selalu memaksakan kehendaknya. Walaupun sang pilot sedang ingin menuju Singapur, misalnya, namun karena penumpangnya sedang ingin ke Kuala Lumpur, maka ia pun mengarahkan pesawat ke Kualalumpur. Para pemimpin yang suka memaksakan keinginannya sesungguhnya ia adalah pembajak.
Pemimpin semacam ini akan membuat program yang seakan-akan merupakan aspirasi rakyat, namun sesungguhnya program-program itu hanyalah keinginan kelompok atau partainya saja. Apa yang dipikirkan pemimpin semacam ini jauh dari apa yang ada di benak rakyat. Rakyat kelaparan, mereka menghambur-hamburkan anggaran.
Kedua, bila pilot sangat kompeten dalam mengendalikan pesawat, para pembajak pada umumnya tidak kompeten. Untuk itu, mereka menekan pilot untuk menuruti keinginannya. Pemimpin yang hanya bermodalkan uang, namun tidak memiliki kompetensi, sesungguhnya ia adalah pembajak. Mereka menduduki kursi strategis, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Betapa malangnya negeri ini, bila diserahkan kepada pemimpin macam ini.
Keadaan negeri ini sesungguhnya telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Banyak putera terbaik bangsa tidak bisa turut serta mengendalikan arah bangsa karena tidak memungkinkan memasuki dunia politik. Putera terbaik yang kebetulan sebagai PNS, misalnya, haram hukumnya nyambi di dunia politik. Akibatnya partai politik kehabisan kader yang berkualitas.Â
Persyaratan caleg yang dipasang partai politik juga menjadi kendala bagi para putra terbaik negeri untuk menjadi pilot bagi negerinya sendiri. Mana mungkin seorang guru atau dosen memiliki uang milyaran? Mana mungkin seorang PNS atau tentara memiliki sekarung uang? Akibatnya, partai dipadati para pengusaha.Â
Padahal, tak ada lain yang ada di benak kebanyakan pengusaha kecuali untung dan rugi. Kalau sudah dikendalikan oleh kalkulasi untung rugi, maka negara akan merasa rugi bila membantu fakir, miskin, dan anak-anak terlantar.Â
Negara akan selalu mencari untung bila berhadapan dengan rakyatnya. Ini jelas sebuah pembajakan negara oleh sekelompok orang yang belum tahu fungsi didirikannya sebuah negara. Padahal jelas, negara didirikan untuk melindungi rakyat. Negara tidak boleh menjadikan rakyat sebagai objek mencari keuntungan bagi dirinya.