Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Restorasi Meiji dan "Continuous Improvement" Indonesia

23 Agustus 2018   19:50 Diperbarui: 26 Agustus 2018   11:18 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu saat nanti pertobatan para pemimpin Indonesia membuahkan hasil. Tak ada lagi  orang Indonesia yang malas belajar. Semua orang sibuk dengan belajar. Setiap anak negeri sibuk berinovasi.

Kedua, rajin bekerja. Pepatah mengajarkan kepada anak-anak Indonesia untuk "sedikit berkata banyak kerja". Pemimpin Indonesia memasyarakatkan lagi pepatah ini dan menjadi watak bangsa. 

Pengalaman panjang sebagai bangsa sejak Boedi Oetomo hingga sekarang telah mengajarkan untuk menghayati karakter bangsa sendiri. Lebih baik mengerjakan sesuatu secara tuntas walaupun sedikit daripada pidato yang muluk-muluk tapi tak pernah dilaksanakan. 

Bukti-bukti kejayaan negeri pada masa lalu merupakan buah dari falsafah ini. Borobudur merupakan karya nyata bangsa yang sedikit busa banyak kerja. Begitu kuatnya kesadaran bangsa pada pepatah ini telah mengakibatkan tersingkirnya para politisi yang banyak kata namun minus kerja. Rakyat lebih senang memilih pemimpin yang banyak kerja dari pada politisi yang banyak bicara sedikit kerja.

Ketiga, hemat. Krisis energi fosil dan krisis pangan yang mendera bangsa telah menyadarkan seluruh warga untuk hidup hemat. Hidup hemat adalah watak asli bangsa Indonesia sebagaimana terkandung dalam pepatah "hemat pangkal kaya". 

Meluasnya pepatah ini tak lepas dari jasa kaum Ibu yang sengsara akibat krisis berkepanjangan di negeri ini. Uang belanja yang terbatas dan kenaikan harga yang tanpa batas telah mendidik kaum ibu untuk menjalankan prinsip hidup hemat. 

Tak hanya mempraktikkan kehematan dalam sirkulasi keuangan belanja keluarga, ibu-ibu itu juga menanamkan kepada anak-anaknya. Mereka sering menceritakan masa lalu Indonesia yang pernah menjadi negeri boros namun akhirnya mrongos. Padahal kekayaan alam melimpah.

Keempat, mandiri (self-help). Pada masa lalu, negeri ini pernah terkapar akibat dilumat globalisasi. Datanglah sang dewa penolong yang bernama rentenir dunia. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Indonesia menjadi murid paling penurut kepada rentenir dunia. Padahal reputasi rentenir dunia adalah dokter yang sering salah dalam membuat resep bagi para pasiennya. 

Argentina, Meksiko, dan Malaysia adalah negeri yang pernah di-jelomprong-kan rentenir dunia. Mereka akhirnya sadar diri dan berani berkata tidak kepada rentenir dunia. Ketiga negara itu pun bangkit dari keterpurukannya justru karena berani melawan rentenir dunia. Indonesia yang taat justru terbenam semakin dalam.

Pengalaman kesejarahan inilah yang kemudian membuat bangsa Indonesia sadar diri bahwa kejayaan sebuah negeri hanya akan dicapai dengan berdiri di kaki sendiri. Bangsa Indonesia kembali membenarkan falsafah hidup yang pernah dipraktikkan oleh Soekarno, Mahatma Gandi, dan Sun Yat Sen. Berdiri di kaki sendiri dijadikan kembali sebagai watak bangsa Indonesia yang tidak lagi mau menjadi babu dan kuli bangsa asing.

Kelima, kerja sama. Watak lain bangsa Indonesia yang mengantarkan kejayaan adalah suka bekerja sama. Ini adalah watak dasar yang telah muncul ratusan tahun silam. Semangat bergotong royong dalam bentuk koperasi berkembang pesat di seluruh negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun