Pribumisasi atau Saudisasi
Jika tiba-tiba Pak Presiden RI mengeluarkan peraturan, "Imam dan Khatib Masjid Istiqlal harus asli Betawi!" sepertinya akan ada protes dari beberapa kalangan. Mengingat Masjid Istiqlal bukan hanya milik orang Jakarta saja, tapi sudah menjadi Ikon Bangsa Indonesia.
Atau jika Pak Presiden mengeluarkan Undang-Undang, "Dosen UIN Jakarta harus asli orang Jakarta!" akan menjadi Undang-Undang yang kontroversional. Mengingat Mahasiswa yang belajar dari sana tidak hanya orang Jakarta saja, melainkan dari seluruh Indonesia.
Bagaimana jika hal itu terjadi pada Masjid Seluruh Umat Islam Dunia, Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi?
Baru-baru ini Syeikh Sa'ad al-Ghamidi, seorang Imam Masjid Nabawi datang ke Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu kantor berita nasional, beliau mengungkapkan bahwa; Kini sesuai aturan pemerintah, semua Imam dan Muadzin di Masjidil Haram diharuskan dari orang Saudi asli. Hingga dosen-dosen di Universitas Islam Madinah dan Ummul Quro' juga diterapkan hal yang sama, sehingga sudah tidak didapati lagi dosen di luar keturunan Saudi, katanya.
SA'WADAH
Wah, sungguh menarik. Memang akhir-akhir ini Kerajaan Saudi Arabia sedang gencar mencanangkan "Saudisasi" di berbagai sektor. Termasuk muadzin, Imam, Khatib Masjid Makkah dan Madinah, Para Syeikh pada halaqah di Masjid, termasuk Dosen Universitas-Universitas Islam disana.
Tentu hal itu sah-sah saja, toh dalam Negeri kita kenal gerakan "Cintai Produk Dalam Negeri".
Tapi, bukankah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi adalah aset milik semua umat Islam di dunia? Apakah karena Ta'mir Masjid Istiqlal itu orang Betawi terus dilarang orang non Betawi untuk ikut andil meramaikan? Menyampaikan Ilmu agama? Jika memang berkompeten dan mampu, kenapa tidak?
SETITIK SEJARAH
Imam Haramain: