Cinta adalah segerak sikap memaafkan yang tiada berakhir,sesorot pandangan penuh rasa sayang yang menjadi kebiasaan. (Peter Ustinov, Aktor-penulis Inggris)
Saya sengaja menempatkan curahan hati Peter Ustinov dalam memaknai cinta untuk memulai tulisan ini. Bagi saya, ada satu hal menarik dalam definisi itu yang perlu diberikan penekanan, yaitu tentang kebiasaan. Dengan definisi itu, nampaknya kita diberitahu bahwa sebuah perasaan cinta mestilah dijalani secara terus-menerus, kontinyu, tak pernah terbesit kebosanan, dan dibarengi rasa sayang yang amat.
Seorang penulis yang tangguh akan mencurahkan segala perasaan cintanya terhadap dunia tulis-menulis hingga nampak tak ada kebosanan dan patah arang dalam menjalaninya. Dari ketidakbosanan itulah yang akan mengantarkan seseorang menjadikan sebuah aktivitas menjadi kebiasaan, bahkan kebutuhan. Menulis, dengan demikian, tak ubahnya seperti makan; menjadi sebuah kebutuhan.
Cinta sendiri dapat disebabkan berbagai faktor yang berbeda. Di dalam kitab Mufradat li Al-fadzhil al-Qur'an, Ar-Raghib Al Ashfihani membedakan motif cinta (mahabbah) ke dalam tiga kategori (Muhammad Asyhari, Tafsir Cinta: 2006). Pertama, cinta untuk memperoleh nikmat (mahabbah lil al ladzdzah). Termasuk motif ini adalah kecintaan seorang lelaki kepada perempuan hingga dirinya mendapatkan kenikmatan, baik secara psikologis maupun biologis.
Kedua, cinta yang bermotif manfaat (mahabbah li an-naf'). Seseorang mencintai sesuatu karena akan memperoleh manfaat dari apa yang dicintainya, baik bersifat materiil maupun spirituil. Ketiga, cinta yang bermotif keutamaan (mahabbah li al-fadhl). Sebagai contoh dalam kategori ini adalah cinta para pakar terhadap ilmu pengetahuan.
Aktivitas menulis, sebenarnya dapat dicari sandarannya pada ketiga motif itu, bahkan termasuk motif cinta kepada Tuhan. Sebuah tulisan dapat dijadikan media berdakwah --selain yang populer adalah oral- sehingga seseorang akan merasa lebih dekat kepada Allah (taqarrub ila Allah) dan memperoleh kenikmatan secara psikologis.
Cara-cara seperti inilah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan berbagai karya mereka yang luar biasa. Sebut saja beberapa nama seperti Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan empat Imam fiqh yang paling populer; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Hambali, dan Imam Syafi'i.
Kecintaan para ulama tersebut terhadap Tuhan, ilmu pengetahuan dan tulisan membuat mereka dikenal sampai sekarang dan pendapat-pendapat mereka diikuti hingga saat ini. Maka tidak salah jika ada adagium, "bila ingin mencerdaskan satu atau dua generasi, maka jadilah guru yang baik. Tapi bila ingin mencerdaskan beberapa generasi maka jadilah penulis ilmu pengetahuan yang baik." (Di Balik Sukses Para Penulis Muslim, LSAP Semarang: 1997).
Diakui atau tidak, menulis tentulah lebih awet daripada sekadar tradisi lisan. Maka "menulis adalah kerja untuk keabadian," demikian kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Bahkan wahyu yang turun pertama kali kepada Nabi saw bertutur tentang urgensi kepenulisan. Bahwa manusia diajarkan untuk membaca dengan perantaraan pena (qalam) (QS. 93: 3-4).
Apabila al-Qur'an sendiri tidak dituliskan, maka tidak ada jaminan akan bisa "dinikmati" oleh umat Islam hingga kini. Karena itulah, mencintai dunia tulisan tidak hanya perasaan suka atau tidak suka, melainkan juga dapat bernilai ibadah.