Sebagian besar bencana negeri ini sesungguhnya disebabkan oleh tangan manusia Indonesia yang cenderung ceroboh.Â
Bangsa ini suka berpikir jangka pendek dan bertujuan pendek pula. Pola hidup instan yang mengabaikan dimensi proses dan prosedur wajar telah masuk dalam relung-relung kehidupan bangsa. Pola hidup seperti itulah yang mengakibatkan meluasnya budaya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) serta eksploitasi alam. Hampir semua rakyat telah menginginkan hidup enak namun malas berusaha keras.
Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang jauh dari hidup tertib dan tidak memiliki rule of the game. Pola pikir cekak telah terbukti membuat bangsa ini miskin kesuksesan dalam hidup. Dalam berbagai lini kehidupan, eksistensi bangsa ini kian terancam akibat dari jarangnya disebut nama Indonesia dalam kancah internasional yang berbasis pada keunggulan kolektif. Secara kolektif, bangsa ini miskin prestasi. Bagaimana kita bangkit? Marilah belajar dari peristiwa hijrah nabi.Bermula dari Umar
Kalender Hijriah digagas oleh Umar bin Khattab. Sebelum ada kalender hijriah, Umar mempunyai kesulitan dalam mensikapi laporan prestasi bawahannya. Tak adanya jadwal membuat laporan kemajuan kerja dari berbagai daerah seperti pengumpulan pajak dan zakat sulit diprediksi. Akhirnya, Umar mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan jalan keluar atas kesulitan ini. Banyak sahabat yang telah memberikan masukan. Ada yang mengusulkan agar kalender itu dimulai dari hari lahirnya nabi, namun Umar menolak.Â
Alasannya waktu lahir, Muhammad belumlah nabi. Ia belum berprestasi apa-apa. Ada yang mengusulkan sebaiknya dimulai dari waktu kematian beliau. Umar pun menolak karena kematian tidak lazim diperingati sebagai sesuatu yang abadi dan kematian bukan sesuatu yang istimewa dalam proses hidup manusia.
 Semua orang akan dan pasti mengalaminya. Maka dipilihlah peristiwa hijrah nabi, karena peristiwa hijrah merupakan peristiwa yang menjadi tonggak penting dan merupakan titik balik bagi kemajuan perjuangan nabi dalam menunaikan tugas kenabiannya. Kalender Hijriah merupakan wujud kemampuan Umar dalam menangani kesulitan penjadwalan pelaporan di era kepemimpinannya.
Lima Kunci
Menjadi kewajiban umat manusia untuk selalu meningkatkan kualitas hidupnya agar hidupnya lebih baik dari yang kemarin. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin. Dan tahun depan harus lebih baik dari tahun sekarang. Dalam hal mengukir kesuksesan hidup, Nabi Muhammad adalah figur terbaik. Ia sangat piawai merenungkan apa yang paling tepat dilakukan setiap tahun dalam hidupnya dan sukses. Selama 23 tahun, ia bisa mengubah dunia Arab yang semula penuh dengan kekerasan dan keterbelakangan moral menjadi dunia yang maju untuk ukuran abad ke 7 M di Semenanjung Arab.
Kunci sukses perjalanan hidup Nabi bisa diringkas menjadi 5 macam. Pertama,mau hidup mandiri. Sebagai seorang nabi yang yatim piatu, perilaku hidup nabi sangat mandiri. Ia pantang bergantung pada siapapun. Sejak berumur 8 tahun, ia sudah menggembalakan kambing. Dengan menggembalakan kambing penduduk Makkah, ia mendapat upah. Upah itu digunakannya untuk hidup mandiri, walaupun kebutuhan pokoknya masih ditopang oleh pamannya pasca meninggalnya sang kakek, Abdul Muthalib. Itu menunjukkan bahwa sejak kecil, nabi adalah pribadi yang mandiri. Kemandiriannya semakin tampak pada umur 9 tahun ketika menemani pamannya, Abu Thalib pergi ke luar negeri, Syria, untuk berdagang.
Pada umur 25 tahun, bermodalkan modal bisnis Khadijah, seorang janda kaya, nabi juga melakukan perjalanan ke Syria untuk kedua kalinya. Berangkat membawa barang, pulang membawa barang. Dalam waktu singkat, ia mendapat keuntungan besar dan membuat Khadijah semakin percaya bahwa Muhammad adalah pribadi yang terampil dan dapat dipercaya. Kemandirian inilah kunci sukses Muhammad dalam waktu 23 tahun di Makkah dan Madinah menjadi manusia yang bisa mengubah dunia  saat itu.
Sebagai bangsa, masyarakat Indonesia terlambat menyadari pentingnya kemandirian. Negeri yang sebenarnya kaya sumberdaya alam ini kini terjebak hutang akibat seringnya  bergantung pada dunia luar. Itulah yang membuat bangsa ini mengalami berbagai kesulitan.
Kedua, mau terus belajar. Sebagai seorang manusia biasa, nabi tidak pernah berhenti belajar. Ia membaca lingkungan masyarakatnya yang menyembah patung, padahal patung itu tak mampu berbuat apapun walaupun untuk dirinya sendiri. Di Gua Hira, ia banyak merenungkan fenomena masyarakatnya untuk menemukan kebenaran. Kemauannya untuk terus belajar menyelamatkannya dari kejumudan dan kebodohan. Ia menjadi agent of change masyarakat Arab waktu itu. Pentingnya belajar inilah yang kemudian dirumuskan oleh Imam Syafi'i dalam sebuah syair waman lam yazuq zulla at-ta'allumi s'atan, tajarra' zulla al-jahli thla haytihi (Barang siapa tidak mau merasakan pahitnya belajar dalam sejenak, ia akan terjerembab dalam getirnya kebodohan sepanjang hayatnya). Kebodohan sudah terbukti dalam sejarah umat manusia hanya akan membuat hidup menjadi gelap dan akan membuat kehidupan semakin sulit.
Ketiga, mau kerja keras. Nabi muhammad bukanlah manusia pemalas. Hari-harinya dilalui dengan penuh kesibukan; mengurus keluarga, bisnis, ibadah, dan umat. Semua aktivitas itu dilakukannya dengan ihlas. Beliau juga luas pergaulannya. Walaupun 13 tahun hidup di Makkah penuh dengan tekanan, tetapi prestasinya selama di Makkah terkenal di segala penjuru Arab waktu itu. Berkat perkenalannya yang luas itu, nabi mendapat peluang untuk berhijrah ke Madinah. Masyarakat Madinah dengan senang hati memberi tawaran bahwa mereka siap berjuang menemani baginda nabi. Di Madinah inilah kesuksesan nabi semakin tampak.
 Madinah kota yang subur dengan tanaman buah dan sayur itu mempermudah perjuangan nabi. Ini berbeda dengan kota Makkah yang saat itu gersang dan bebatuan. Tepatlah dengan nama Makkah (Bakkah) yang berarti air mata. Dalam sejarah Makkah, orang yang mendatangi kota itu kebanyakan menangis karena ke sana ke mari hanya menjumpai batu cadas dan gunung keras. Oleh karena itu, perpindahan Muhammad ke Madinah adalah dalam rangka menemukan dunia baru untuk mengukir kesuksesan yang lebih baik.
Keempat,mau menghargai waktu. Waktu sangat penting bagi hidup manusia. Manusia tidak boleh lengah dimakan waktu. Al-waqtu ka as-sayfi, begitu kata pepatah yang berarti waktu itu bagaikan pedang. Fain lam taqtha'ha qatha'aka (jika kamu tidak memotongnya, ia akan memotong kamu). Banyak orang sukses dalam hidupnya, waktunya juga sama dengan kita, yakni 24 jam sehari, tidak kurang dan tidak lebih. Tetapi mengapa ada orang sukses pada umurnya  yang masih muda, sementara ada orang yang penuh penyesalan pada umurnya yang terlanjur lanjut. Nabi Muhammad bisa mengukir sejarah karena pandai mengelola waktu. Waktunya ditata serapi mungkin untuk ibadah, perang, kemasyarakatan, dan berusaha.
Kelima, mau terus maju. Nabi selalu berpikir jauh ke depan. Ia tidak pernah nglokroapalagi putus asa. Pikirannya penuh cita-cita besar. Ia bukan pribadi yang berjiwa kerdil. Ia selalu menginginkan umatnya menjadi umat terbaik di bumi. Oleh karena itu, berbagai ajaran untuk selalu menatap masa depan dengan optimis banyak kita jumpai dalam ajaran Islam. Ayat-ayat Alquran seperti Yusuf: 87, al-Hijr: 56, dan al-Ankabut: 23 jelas mengecam putus asa bahkan menganggapnya sebagai perilaku orang tidak bertuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H