Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana "Konflik" Menjadi Perekat Persatuan

20 Agustus 2018   22:24 Diperbarui: 20 Agustus 2018   22:28 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caknun dan Presiden Jancuker dalam acara Milad Gus Mus di Semarang beberapa waktu lalu.

Suatu ketika saya sholat jama’ah maghrib dan sudah berjalan satu raka’at. Tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya masuk, ikut shalat jama’ah di sebelah saya. Tapi ada yang tak beres dari bapak ini, dengan gerak cepat beliau menyalip imam dan para jama’ah. Menambah satu raka’at yang tadinya sudah tertinggal dari imam sehingga nanti salamnya akan bareng imam.

Wah, sholat saya jadi kacau memikirkan tetangga shaf saya ini. Kok persis yang saya pernah lakukan kala kelas 1 SD dulu. Ada beberapa spekulasi yang nampak di benak saya, mungkin bapak ini ikut satu aliran baru, atau baru masuk islam atau memang karena belum tahu tata cara sholat. “Okelah, nanti setelah selesai sholat saya akan bertanya kepada bapak satu ini” pikir saya.

Setelah salam, sedikit curi-curi pandang bapak itu saya amati. Dari pakaiannya beliau sepertinya bapak-bapak pedagang kaki lima yang baru mangkal di gang kami.

Tapi saya ragu, jangan-jangan bapak ini nanti tersinggung, dikira saya sok menggurui atau sok tahu. Berdakwah saja mungkin mudah, tapi bil hikmah-nya yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Setelah jama’ah selesai berdzikir dan mushalla mulai sepi, dengan memberanikan diri saya lempar senyum kepada bapak ini. Beliau pun membalasnya, wah ini pertanda baik.

Hal Baik Perlu Disampaikan dengan Cara Baik Pula

Saya dekati bapak itu dan saya ulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“Assalamu’alaikum pak! Baru ya disini?” tanya saya mengawali perbincangan lepas maghrib kala itu.

“Iya Aa’.” Oh, bapak ini ternyata orang sunda. “Baru hari ini jualan siomay di gang sini, sekalian mampir untuk sholat maghrib”.

“Oh, iya pak! Tadi sholatnya sepertinya ketinggalan satu raka’at ya?” tanyaku. “iya, tadi ketinggalan satu”

“hmm, tapi maaf nih sebelumnya pak. Sepengetahuan saya selama belajar cara sholat, kalo ketinggalan satu raka’at itu cara nambahinnya kok bukan didepan ya pak? Tapi di belakang setelah imam salam!”. Kataku dengan nada diperhalus, takut bapak ini tersinggung. Memang sesuatu yang benar juga harus disampaikan dengan yang benar pula.

“Oh, emang begitu ya aa’?. Maaf, saya belum tahu tata cara sholat yang benar.” Ternyata bapak ini memang belum tahu tata cara sholat dengan benar. Syukurlah beliau tidak tersinggung. Sampai akhirnya diskusi panjang malam itu berlanjut membahas mengenai bagaimana sholat sampai berkumandang adzan isya’.

“Terima kasih ya aa’! Dari dulu saya ingin belajar agama seperti ini. Tapi belum nemu-nemu juga. Banyak yang tahu tapi tidak mau membagi dengan yang belum tahu kayak bapak ini”. Kata bapak itu menyudahi perbincangan.

Stop Saling Tuduh

Pulang sholat isya’, hati saya berbunga-bunga. Ntrenyuh campur senang, tak tahu kenapa. Semangat saya untuk belajar lebih giat, untuk selalu berbagi kepada siapapun seperti terpompa kembali. Banyak masyarakat kita yang hidup dibawah garis ke-awam-an beragama. Kalo bukan kita yang mengentaskan, siapa lagi?.

Nanti lah berbicara tentang khilafah, yang ujungnya juga ke politik. Atau bicara khilaf hukum islam yang ujungnya saling mentahdzir. Atau bicara konspirasi dunia yang ujungnya saling tuding dan curiga. Ah sudahlah, abang lelah dek.

Akhir kata beragama dalam keberagaman kadang di satu sisi menjadi akar konflik, namun tidak jarang menjadi semacam perekat yang kuat dalam keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun