Perjalanan Sejarah
Jika saya tanya, apakah dahulu ketika Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam selesai menyampaikan suatu Hadits, beliau berujar; “Hadits ini shahih, atau Hadits ini dhaif”? Tentu saja tidak. Apakah dahulu para shahabat Nabi sudah menerapkan sistematika yang terstruktur dengan baik dalam menerima suatu Hadits? Harus tersambung sanadnya, ‘adil dan dhabith rawinya misalnya? Tentu saja belum.
Lalu darimana kita dapati lima syarat diterimanya suatu hadits yang kita kenal saat ini? Jawabannya adalah: dari ijtihad para ulama.
Untuk apakah Ijtihad itu dilakukan? As-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan bahwa tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk mengetahui suatu hadits shahih yang benar-benar berasal dari Nabi yang nantinya bisa dijadikan hujjah .
Diskursus seputar otentisitasas hadits memang selalu menarik untuk dibahas, khususnya Hadits yang diriwayatkan secara Ahad . Hal itu dapat dipahami, secara normatif-teologis kaum Muslimin memandang hadits sebagai hujjah agama yang fundamental disamping Al-Qur’an. Tapi disisi lain, perjalanan sejarah telah menjadikan sebagian hadits nyaris kehilangan orisinalitasnya.
Interval waktu yang cukup panjang antara masa Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam dengan para penghimpun Hadits, terjadinya periwayatan Hadits secara makna, pergolakan politik, perbedaan madzhab serta adanya ulah beberapa orang awam Muslim atau musuh Islam merupakan suatu persoalan yang menambah rumitnya pembuktian otentisitas Hadits.
Para ulama telah berusaha membuktikan otentisitas hadits; baik secara ekstern yang menyangkut sanad Hadits, maupun secara intern yang menyangkut matan Hadits.
Berdasarkan kajian tersebut, secara gradual tersusunlah kerangka epistemologi untuk menentukan otentisitas sebuah hadits. Itulah yang nantinya disebut sebagai syarat-syarat ke-shahih-an Hadits. Hadits shahih merupakan salah satu modal dasar penetapan hukum syariat. Tak jarang, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum syariat, karena perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits.
Produk Ijtihad
Kegiatan penelitian otentisitas hadits telah banyak dilakukan oleh para ulama, baik ulama mutaqaddimun maupun muta’akhirun . Kita temukan para ulama berbeda dalam menilai derajat suatu hadits. Hal itu menegaskan bahwa penilaian terhadap derajat suatu hadits adalah produk Ijtihady yang mempunyai dua kemungkinan; benar atau salah.
Satu contoh: Hadits “Thalab al-ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim”. Hadits ini dinilai dhaif oleh para hafidz seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Daud, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abd al-Barr, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, dan ad-Dzahabi. Dinilai Hasan oleh Ibn al-Qattan, as-Sakhawi, dan as-Suyuthi, tetapi dishahihkan oleh al-Hafidz al-Iraqi .
Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits dan ilmu Hadits sangat dinamis, di mana para ulama mempunyai sensitivitas dan respon yang tinggi terhadap hasil suatu penelitian.
Siapakah Mujtahid Itu?
Suatu ketika, saya ditanya oleh teman tentang suatu hukum. Saya jawab, bahwa menurut Madzhab Hanafi hukumnya seperti ini, Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah seperti ini. Saya terangkan komplit dengan dalil dan sebab perbedaannya. Di akhir penjelasan, dia bertanya; “Trus, kalo menurut Nabi Muhammad bagaimana?”.
Wah, mati kutu saya. Seolah pendapat para ulama yang saya sebutkan tadi bukan benar-benar dari Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam.
Hal yang sama pernah ada teman lain bertanya kepada penulis; “Kok yang ada itu kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim. Kenapa tidak ada kitab Shahih Nabi ya?!”.
Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), at-Tirmidzi (w. 279 H), an-Nasa’i (w. 302 H), Ibnu Majah (w. 273 H), ad-Darimi (w. 280 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan lainnya adalah para Mujtahid yang mencoba mengumpulkan hadits Nabi dan menelitinya. Mereka menuliskan kitab Hadits dalam format yang berbeda; ada yang berbentuk Musnad, Mushannaf, Jami’, Sunan, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak dan lainnya .
Maka kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab shahih lainnya itulah “Kitab Shahih Nabi”.
Dalam kasus, siapakah yang lebih berhak menilai keshahihan suatu hadits? Tentu ini kembali kepada syarat-syarat hadits shahih itu sendiri.
Maksudnya, orang yang bisa mengetahui dengan mendalam terhadap ketersambungan sanad, mengerti al-Jarh dan at-Ta’dil, ‘adalah dan hafalan masing-masing rawi, mengetahui secara mendalam dan luas ilmu dirayah dan riwayah hadits, sehingga tahu ada ‘illat dalam sebuah hadits, dan syadznya sebuah riwayat, maka boleh bagi dia menghukumi suatu hadits. Bersambung.
Selamat Malam Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI