Satu contoh: Hadits “Thalab al-ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim”. Hadits ini dinilai dhaif oleh para hafidz seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Daud, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abd al-Barr, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, dan ad-Dzahabi. Dinilai Hasan oleh Ibn al-Qattan, as-Sakhawi, dan as-Suyuthi, tetapi dishahihkan oleh al-Hafidz al-Iraqi .
Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits dan ilmu Hadits sangat dinamis, di mana para ulama mempunyai sensitivitas dan respon yang tinggi terhadap hasil suatu penelitian.
Siapakah Mujtahid Itu?
Suatu ketika, saya ditanya oleh teman tentang suatu hukum. Saya jawab, bahwa menurut Madzhab Hanafi hukumnya seperti ini, Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah seperti ini. Saya terangkan komplit dengan dalil dan sebab perbedaannya. Di akhir penjelasan, dia bertanya; “Trus, kalo menurut Nabi Muhammad bagaimana?”.
Wah, mati kutu saya. Seolah pendapat para ulama yang saya sebutkan tadi bukan benar-benar dari Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam.
Hal yang sama pernah ada teman lain bertanya kepada penulis; “Kok yang ada itu kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim. Kenapa tidak ada kitab Shahih Nabi ya?!”.
Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), at-Tirmidzi (w. 279 H), an-Nasa’i (w. 302 H), Ibnu Majah (w. 273 H), ad-Darimi (w. 280 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan lainnya adalah para Mujtahid yang mencoba mengumpulkan hadits Nabi dan menelitinya. Mereka menuliskan kitab Hadits dalam format yang berbeda; ada yang berbentuk Musnad, Mushannaf, Jami’, Sunan, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak dan lainnya .
Maka kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab shahih lainnya itulah “Kitab Shahih Nabi”.
Dalam kasus, siapakah yang lebih berhak menilai keshahihan suatu hadits? Tentu ini kembali kepada syarat-syarat hadits shahih itu sendiri.
Maksudnya, orang yang bisa mengetahui dengan mendalam terhadap ketersambungan sanad, mengerti al-Jarh dan at-Ta’dil, ‘adalah dan hafalan masing-masing rawi, mengetahui secara mendalam dan luas ilmu dirayah dan riwayah hadits, sehingga tahu ada ‘illat dalam sebuah hadits, dan syadznya sebuah riwayat, maka boleh bagi dia menghukumi suatu hadits. Bersambung.