Mohon tunggu...
Ahmad Haris Ilhamsyah
Ahmad Haris Ilhamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Warga sipil.

Sehari-hari mengamati desain baliho, mencatat, dan memvisualisasi informasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Epistemofobia

24 Desember 2024   08:27 Diperbarui: 24 Desember 2024   08:27 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era kebebasan berpendapat ditambah kehadiran media sosial, memang seringkali disebut sebagai penyebab dari fenomena matinya kepakaran (the death of expertise).

Masyarakat kerap mengandalkan sumber yang tidak kredibel untuk mencari informasi atau jawaban dari berbagai persoalan. Apalagi artificial intellegence (AI) telah marak digunakan. Pak Najib Burhani menyebutkan bahwa selain terjadi fenomena the death of expertise, terjadi pula the shift of expertise from human beings to machine akibat peran AI.

Perilaku netizen yang menyerang mba Najwa tentu didalangi beberapa faktor. Nikita Mirzani—selebriti yang kita semua tahu rekam jejaknya—berkontribusi kuat memprovokasi netizen untuk menyerang mba Najwa. Faktor lainnya, preferensi pemilu netizen. Faktor lainnya lagi, kita tidak lagi menghargai kepakaran. 

Gejala Membenci Sumber Pengetahuan

Di era kebebasan berpendapat, tentu sah-sah saja bila mengemukakan pendapat; menunjukan kesetujuan atas suatu gagasan, atau menunjukan ketidaksepakatan atas suatu gagasan. Namun, jika pendapat tersebut berangkat dari sumber seperti akun homeless media seperti ahquote, atau pendapat seleb tiktok yang tidak kompeten di bidangnya—apalagi punya rekam jejak yang kurang baik, maka ini menjadi persoalan lain.

Semakin bodoh anda, semakin yakin bahwa anda sebenarnya tidak bodoh

Kalimat di atas adalah kutipan dari David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University pada 1999. Sayangnya, dunning-kruger effect benar-benar telah terjadi di masyarakat kita. Masyarakat bebas berpendapat seenak jidatnya, merasa mengetahui segalanya, meninggalkan sumber-sumber pengetahuan yang kredibel.

Beginilah nasib Indonesia. Sudah skor PISA belum memuaskan. Masyarakat masih menggandrungi takhayul. Mau memilih barang dan pemimpin masih termakan gimmick marketing. Konspirasi kian diamini karena dikaitkan dengan agama, budaya atau figur idola. Postingan wisudawan dipenuhi komentar bernada sinis: “halah, ujung-ujungnya sibuk di dapur” atau “sekolah tinggi-tinggi, akhirnya nganggur juga”. Homeless media juga lebih laku daripada media mapan dan kredibel.

Gejala epistemofobia kian mewarnai hari-hari kita di era post-truth. Sebuah era yang diharapkan mampu teratasi kala pemerintah merayakan Indonesia Emas 2045 nanti.

'Kabut' di Sosial Media

Hari ini, kita telah memasuki era post-truth (pasca kebenaran). Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise (2017) menyoroti fenomena ini sebagai era di mana para pakar tidak lagi dilirik menjadi sumber rujukan masyarakat.

Wulansari (2019) menyebutkan bahwa ada kecenderungan di mana masyarakat menganggap bahwa potongan informasi di media dapat dijadikan rujukan dan hal tersebut berimplikasi pada orang-orang merasa dapat menjadi pakar dalam semua hal. Inilah yang menjadikan sosial media seperti diselimuti kabut.

Sosial media memang kerap diisi oleh konten yang menghibur, dikemas pendek, dan perlu divalidasi ulang ketepatan informasinya. Namun, alih-alih mendengarkan ahli yang kompeten, sebagian masyarakat lebih memilih mendengarkan sosok yang belum jelas keahliannya.

Menurut Nichols (2017), kondisi di mana audiens tidak kritis ini bisa terjadi karena pertama, kegagalan berpikir melalui logika statistik deskriptif yang membuat masyarakat tidak mampu berdebat secara persuasif. Kedua, kegagalan dari pendidikan formal yang mencetak orang-orang yang tidak paham dengan sejarah dan budayanya.

Masyarakat di sosial media dapat berargumen menentang suatu pengetahuan yang telah mapan berdasarkan informasi di internet dengan dalih “pakar dapat melakukan kesalahan”. Padahal kenyataannya, pakar lebih sering benar dibandingkan orang awam.

Maraknya perilaku masyarakat yang tidak apresiatif terhadap kredibilitas informasi, bahkan cenderung menyepelekan, menambah bukti bahwa masyarakat kita (semakin) belum terbiasa dengan budaya keilmuan (membaca, berdiskusi, menulis).

Jangankan Zina, Goblok Saja Sudah Maksiat

Kebebalan masyarakat awam ini membuat para pakar resah. Tanpa melakukan analisis, pengukuran, dan verifikasi, masyarakat awam mampu membuat bahan berdebat di sosial media.

Mas Ahmad Khadafi pernah menulis cerita pendek di Mojok. Judulnya lucu, “Jangankan Zina, Goblok Aja Udah Termasuk Maksiat Kok”. Lewat cerita Mas Is dan Gus Mut itu, mas Dafi menyoroti bahaya tindakan yang dilandaskan ke-sok tahu-an alias goblok.

Goblok itu maksiat. Kata Gus Mut, goblok bisa beresiko memunculkan pendapat yang keliru, tidak valid, dan mencla-mencle. Apalagi sudah goblok, sombong pula. Bebal jadinya, seperti kata Gus Mut:

"Yang bahaya itu nggak cukup pada sikap gobloknya aja, tapi sikap sombongnya juga. Soalnya sikap sombong itu bikin orang malas untuk bertanya, jadi bikin orang malas untuk cari ilmu baru, bikin orang jadi nggak mau mempelajari apa yang dianggapnya musuh. Jadi ilmunya nggak nambah-nambah, lalu jadi serba takut sama sekitarnya. Siapa-siapa dimusuhi, dijauhi."

Hoaks, drama artis, penipuan, berdebat perihal teori konspirasi, hate speech, kelompok anti vaksin, hingga informasi sesat di grub WhatsApp keluarga, tak kurang-kurangnya hadir karena kebebalan orang awam dalam menyikapi informasi.

Lantas, bagaimana cara keluar dari kemelut epistemofobia ini?

Lembaga pendidikan seharusnya mengajarkan anak-anak dan orang-orang untuk memiliki kemampuan metakognisi, yakni kemampuan untuk menyadari kapan kita tidak pandai dalam sesuatu, lalu menjaga jarak untuk melihat apa yang baru kita lakukan, dan kemudian menyadari bahwa kita melakukan sesuatu yang salah (Nichols, 2017).

Selain mengajarkan metakognisi, pendidikan juga harus mengajarkan budaya argumentatif. Menurut Gerald Graff (2001), memulai membangun argumentasi tidak hanya dapat dibangun melalui academic things, tapi juga bisa dimulai dari hal yang menarik bagi kita, misalnya olahraga. Dari situ, kita bisa mengembangkan pertanyaan kritis: “mengapa orang-orang pendukung klub sepak bola terjerumus konflik karena hanya perlombaan” misalnya.

Dimulai dari dua hal tersebut, masyarakat kita akan semakin mawas diri dan mulai mencintai ilmu pengetahuan. Ucapan terima kasih dan permohonan maaf akan menghiasi banyak kolom komentar di konten sosial media. Betapa putih dan sejuknya beranda sosial media kita. Jauh dari kemaksiatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun