Menurut Nichols (2017), kondisi di mana audiens tidak kritis ini bisa terjadi karena pertama, kegagalan berpikir melalui logika statistik deskriptif yang membuat masyarakat tidak mampu berdebat secara persuasif. Kedua, kegagalan dari pendidikan formal yang mencetak orang-orang yang tidak paham dengan sejarah dan budayanya.
Masyarakat di sosial media dapat berargumen menentang suatu pengetahuan yang telah mapan berdasarkan informasi di internet dengan dalih “pakar dapat melakukan kesalahan”. Padahal kenyataannya, pakar lebih sering benar dibandingkan orang awam.
Maraknya perilaku masyarakat yang tidak apresiatif terhadap kredibilitas informasi, bahkan cenderung menyepelekan, menambah bukti bahwa masyarakat kita (semakin) belum terbiasa dengan budaya keilmuan (membaca, berdiskusi, menulis).
Jangankan Zina, Goblok Saja Sudah Maksiat
Kebebalan masyarakat awam ini membuat para pakar resah. Tanpa melakukan analisis, pengukuran, dan verifikasi, masyarakat awam mampu membuat bahan berdebat di sosial media.
Mas Ahmad Khadafi pernah menulis cerita pendek di Mojok. Judulnya lucu, “Jangankan Zina, Goblok Aja Udah Termasuk Maksiat Kok”. Lewat cerita Mas Is dan Gus Mut itu, mas Dafi menyoroti bahaya tindakan yang dilandaskan ke-sok tahu-an alias goblok.
Goblok itu maksiat. Kata Gus Mut, goblok bisa beresiko memunculkan pendapat yang keliru, tidak valid, dan mencla-mencle. Apalagi sudah goblok, sombong pula. Bebal jadinya, seperti kata Gus Mut:
"Yang bahaya itu nggak cukup pada sikap gobloknya aja, tapi sikap sombongnya juga. Soalnya sikap sombong itu bikin orang malas untuk bertanya, jadi bikin orang malas untuk cari ilmu baru, bikin orang jadi nggak mau mempelajari apa yang dianggapnya musuh. Jadi ilmunya nggak nambah-nambah, lalu jadi serba takut sama sekitarnya. Siapa-siapa dimusuhi, dijauhi."
Hoaks, drama artis, penipuan, berdebat perihal teori konspirasi, hate speech, kelompok anti vaksin, hingga informasi sesat di grub WhatsApp keluarga, tak kurang-kurangnya hadir karena kebebalan orang awam dalam menyikapi informasi.
Lantas, bagaimana cara keluar dari kemelut epistemofobia ini?
Lembaga pendidikan seharusnya mengajarkan anak-anak dan orang-orang untuk memiliki kemampuan metakognisi, yakni kemampuan untuk menyadari kapan kita tidak pandai dalam sesuatu, lalu menjaga jarak untuk melihat apa yang baru kita lakukan, dan kemudian menyadari bahwa kita melakukan sesuatu yang salah (Nichols, 2017).
Selain mengajarkan metakognisi, pendidikan juga harus mengajarkan budaya argumentatif. Menurut Gerald Graff (2001), memulai membangun argumentasi tidak hanya dapat dibangun melalui academic things, tapi juga bisa dimulai dari hal yang menarik bagi kita, misalnya olahraga. Dari situ, kita bisa mengembangkan pertanyaan kritis: “mengapa orang-orang pendukung klub sepak bola terjerumus konflik karena hanya perlombaan” misalnya.