Dibalik maraknya pesta demokrasi yang sedang dilakukan oleh bangsa ini, mencuat sebuah perilaku unikyang sebagian orang cenderung menganggapnya sebagai perilaku disintegritas atau perilaku tidak terhormat yang dilakukan oleh sekelompok oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Kampanye hitam (Black Campaign), demikian orang menyebutnya. Cara kerja perilaku tersebut yaitu dengan menyebarkan isu, rumor atau pemikiran yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya pada media-media tertentu dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politik atau kubu politik yang berseberangan.
Ibarat pribahasa mengatakan “lempar batu sembunyi tangan”, Isu dihembuskan dan dilemparkan ke public dengan kemudian si pelempar menunggu dibelakang layar terhadap reaksi public yang responsive. Terlepas suka atau tidak, setuju atau tidak, saya akan mencoba menganalisis berdasarkan sudut pandang psikologi, seperti apa strategi yang dilakukan dan dinamika psikologis apa yang berperan didalamnya.
Artikel ini terinspirasidari sahabat saya yang beberapa waktu lalu berbicara mengenai black campaign. Beliau mengatakan bahwa bagaimanapun juga, black campaign adalah bagian dari strategi pemenangan dan masih dianggap penting dalam perpolitikan di negeri ini. Menurut hemat saya, masyarakat kita adalah masyarakat yang mudah reaktif secara emosional yang oleh karenanya, reaksi emosional ini cocok disulut dengan stimulus yang berbau emosional juga dimana para pelaku black campaign melihat itu sebagai peluang untuk direspon. Secara psikologis, respon manusia dapat diarahkan berdasarkan stimulusnya. Arah inilah yang coba dikontrol oleh pelaku black campaign melalui stimulus tertentu untuk dipakai menyerang atau mengalahkan rival politiknya secara halus. Artinya, stimulus yang dibungkus dalam black campaign bukanlah stimulus yang dibuat secara asal-asalan, asal berbohong tingkat rendahan, asal menjelekkan dan memfitnah. Dan ketika ada semacam black campaign yang sifatnya asal menjelek-jelekan, itu bukan black campaign yang sebenarnya, tetapi sekedar perilaku orang yang sinis, penuh kebencian, juga buta dan kalap.
Kita bisa membedakan dua jenis black campaign yang dilakukan; pertama, black campaign yang ditujukan kepada diri sendiri. Kedua, black campaign yang ditujukan kepada pihak lain. Jenis mana yang dipakai oleh sang dalang, tergantung kepada target masyarakat sasaran dan tujuannya. ini yang menentukan langkah-langkah strategi yang dilakukan secara sistematis dimana sang dalang akan melakukan pemetaan terhadap target sasarannya. Faktor yang umumnya dipetakan adalah status social, tingkat pengetahuan, dan akses terhadap media dan informasi.
Jika sasarannya adalah masyarakat berpendidikan dan berpengetahuan relatif baik, serta memiliki akses yang baik terhadap media dan informasi, maka jenis black campaign yang lebih efektif adalah black campaign yang ditujukan kepada diri sendiri. Golongan masyarakat ini memiliki tingkat ketergantungan dan kepercayaan yang relative tinggi terhadap media. Informasi via media menjadi mudah untuk diserap dan direspon lebih cepat. Dua resep penting yang perlu disiapkan adalah 1) berita yang sifatnya negative terhadap diri sendiri (fitnah, tekanan, diskriminasi, dll), 2) berita negative tersebut harus mampu dipahami oleh target sebagai sebuah kebohongan yang datangnya dari kubu yang berseberangan. Dengan demikian target akan berpikir “ah…gak benar….ini fitnah…”. Jalan pikiran tersebut akan menggiring target untuk berempati dan mempersepsikan sang tokoh sebagai seorang yang ter-dzolimi atau teraniaya. Saat itu, perilaku empati-altruistik (empathy-altruism behavior) target akan terstimulasi dan akan memunculkan niat atau potensi perilaku untuk menolong sang teraniaya dimana dalam konteks pemilu ini, bentuk perilaku menolong adalah dengan memberi dukungan suara atau dengan memilihnya pada saat pemilihan nanti. Di waktu yang bersamaan, dinamika psikologi yang berkebalikan terjadi pada diri target terhadap kubu yang berlawanan. Target akan memunculkan perilaku membenci dan memunculkan stereotype negatif terhadap kubu yang berlawanan yang diasosiasikan target sebagai dalang atau pelaku black campaign yang sesungguhnya adalah korban.
Jika targetnya adalah masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang relative tidak tinggi alias menengah kebawah dengan akses terhadap media yang terbatas, jenis black campaign yang lebih efektif adalah yang diarahkan kepada pihak lain yang berseberangan. Contoh Masyarakat yang tergolong didalamnya adalahorang yang usianya sudah tidak lagi muda terutama yang tinggal di pinggiran atau di pedesaan. Karakter yang menonjol dari target masyarakat ini adalah keterikatan yang masih kuat terhadap norma-norma social maupun norma agama. Hal-hal yang bersifat bertentangan dengan norma, secara otomatis akan dipersepsi sebagai sesuatu yang salah dan patut dibenci dan dijauhi. Resep penting yang perlu disiapkan adalah; 1) berita yang sifatnya negative terhadap kubu lawan dan harus bertentangan dengan norma social atau norma agama. 2) berita tersebut harus benar-benar meyakinkan dan jangan sampai target mengetahui bahwa ini adalah sebuah kebohongan. Bagi masyarakatgolongan ini, permainan media editing masih cukup efektif mempengaruhi dengan memanfaatkan foto yang diedit dan dibuat sedemikian rupa untuk membantu memvisualisasikan situasi tertentu yang sifatnya tidak pro-sosial. Dengan demikian target akan berpikir bahwa kubu yang dituju adalah kubu yang perilakunya benar-benar melenceng dari nilai dan norma social maupun agama dan akan dicap sebagai individu yang tidak patut untuk dijadikan pemimpin. Pada akhirnya kebencian tersebut akan melahirkan penolakan atau tidak memilihnya pada saat pemilu nanti.
Terlepas dari dua jenis black campaign diatas, situasi dan kondisi yang juga turut mewarnai pemilu tahun ini adalah hanya terdapat dua pasang kandidat yang saling bertarung memperebutkan kursi kepresidenan. Ini juga melahirkan sikap dan perilaku tertentu di masyarakat yang secara psikologis menarik untuk dianalisis. Dua kubu yang ada secara kognitif akan melahirkan pola pikir yang dikotomi dan saling bertolak belakang satu sama lain. Dikotomi adalah pemikiran yang mengarah kepada dua kutub yang saling berseberangan. Dikotomi yang paling sederhana adalah benar-salah, hitam-putih, kualitas tinggi-kualitas rendah, dan lain sebagainya. Dan jika seseorang telah terlanjur menyukai satu kutub, maka secara tidak sadar ia cenderung kurang menyukai atau tidak menyukai kutub lainnya. Sehingga seringkali kita membaca pernyataan yang mengangkat kebaikan atau kelebihan salah satu kubu sementara mengangkat keburukan atau kekurangan kubu yang berseberangan. Sangat jarang sekali kita membaca kelebihan kedua kubu secara bersamaan, dan jikapun ada sepertinya bacaan tersebut kurang menyenangkan untuk dibaca karena tidak kontras satu sama lain. Sementara pada kenyataannya, pastilah setiap kubu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Akibat pemikiran dikotomi ini, tak jarang banyak orang yang terpancing secara emosi yang pada akhirnya berujung kepada pertikaian atau perkelahian yang tidak seharusnya ada dan semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Apapun yang terjadi, sudah selayaknya bangsa ini menjadi dewasa dalam mensikapi black campaign. Bagaimanapun juga, black campaign masih merupakan bagian dari strategi pemenangan dan masih mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Berpikir dengan kepala jernih bukan saja dapat memahami black campaing secara lebih bijak sebagai sebuah fenomena social yang muncul secara alamiah pada bangsa yang masih remaja dalam bernegara dan berdemokrasi, tetapi juga mampu menghindari perpecahan akibat ulang orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Omong kosong untuk menghilangkan black campaign dalam situasi Negara seperti ini, justru kearifan dalam berpikirlah yang mampu meredam efek negative dari black campaign.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H