Mohon tunggu...
Haris Idrak Haikal
Haris Idrak Haikal Mohon Tunggu... Programmer - Universitas Airlangga

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pajak Rokok dan Bea Cukai sebagai Penambahan Pembiayaan Kesehatan (SDGs)

22 Agustus 2023   21:23 Diperbarui: 22 Agustus 2023   21:51 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukai sebagai penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan faktor penting yang menjadi daya tarik di masyarakat dari berbagai kalangan, dimana cukai selain memilki peran untuk pembangunan juga dikaitkan sebagai penyebab semakin memburuknya kemiskinan di Indonesia dikarenakan banyaknya yang mengkonsumsi rokok (Lubis et al., 2022).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp198,02 triliun sejak 1 Januari - 14 Desember 2022. Angka ini meningkat 4,9% dibandingkan pada tahun lalu yang sebesar Rp188,81 triliun.

Menurut data Realisasi Pendapatan Cukai Hasi Tembakau (CHT) dari tahun 2010-2022 hampir mengalami kenaikan setiap tahun. Namun bukan hanya cukai hasil tembakau saja yang penerimaan pajaknya besar, tetapi pertambangan serta migas juga sebagai penghasil cukai yang besar di indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pendapatan pajak  berasal dari PPh Non Migas sebesar Rp137,09 triliun, PPN dan PPnBM sebesar Rp128,27 triliun, PBB dan pajak lainnya sebesar Rp1,95 triliun, dan PPh Migas sebesar Rp12,67 triliun.

Kebijakan pemerintah mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS cukup kontradiktif. Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, pajak dari rokok itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit, yang beberapa juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok. Merujuk ke data total beban penggunaan anggaran BPJS Kesehatan di Tahun 2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang terdiri dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen), stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1 persen), haemofilia (1 persen). Penyebab paling dominan penyakit-penyakit katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.        

Penyakit penyakit yang ditimbulkan oleh rokok akan membuat produktivitas masyarakat terganggu dan merugikan suatu negara, karena negara membutuhkan rakyat yang sehat. Dengan menggalangkan dana rokok untuk pembayaran bpjs pemerintah seakan akan mengajak masyarakat untuk terus membeli rokok sebagai suntikan dana pembayaran bpjs mereka. Pemikiran ini dikemudian hari dapat menimbulkan siklus negatif dimana penyakit yang diakibatkan oleh rokok semakin tinggi membuat pendanaan bpjs semakin banyak, namun suntikan dana dari para perokok terap berjalan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di seluruh dunia (data WHO), ada penerimaan yang cukup besar dari cukai dan pajak rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. Penyakit yang disebabkan rokok adalah jenis penyakit yang paling banyak menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan.    

Pengalokasian dana pajak atas pajak rokok ini belum bisa dikatakan maksimal dan belum mampu membantu kebijakan kesehatan. Sebagaimana jika seseorang perokok aktif masuk rumah sakit akibat rokok yang ia hisap, maka ia akan mendapatkan pertolongan menggunakan kartu BPJS. Namun yang saya maksud jika perokok aktif ini sering sakit dan datang ke rumah sakit. Apakah ini bisa membantu sebagai kebijakan dana tambahan yang ada di lingkungan kesehatan seperti kartu BPJS.? Dan bagaimana jika seorang perokok akf menularkan melalui asap rokoknya ke orang di lingkungan terdekatnya. Maka banyak yang akan menjadi perokok pasif. Hal ini akan menimbulkan masalah baru. Maka dari itu, rokok ini perlu diputus rantai nya. Tidak ada yang merokok, tidak dapat pajak cukai rokok dan menjadi masyarkat yang sehat.

https://www.beacukai.go.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun