" Â The structure of world peace cannot be the work of one man, or one party, or one nation. It must be a peace which rests on the cooperative effort of the whole world " Â Â
 ( Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 )
   Kutipan terkenal dari Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, terkait strategi menciptakan perdamaian dunia melalui sikap kooperatif antarbangsa tersebut harus direnungkan kembali oleh negara -- negara kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Hal ini mengacu pada kondisi terkini di perairan LCS yang cukup mengkhawatirkan akibat naiknya tensi ketegangan antarnegara yang saling klaim terhadap jalur pelayaran strategis tersebut. Konflik di perairan seluas 3,5 juta km2 ini sebenarnya telah berlangsung selama bertahun - tahun, namun hingga saat ini belum menemui titik terang bagi negara yang terlibat.
Awal mula terjadinya konflik di kawasan LCS adalah akibat adanya sikap saling klaim terhadap wilayah perairan tersebut oleh negara -- negara sekitarnya. Setidaknya, konflik berkepanjangan ini melibatkan Cina, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam. Sebenarnya ada beberapa alasan yang mendasari perebutan kawasan LCS. Pertama, posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran penghubung Asia Timur dengan Eropa dan Timur Tengah yang memiliki nilai ekonomi perdagangan sangat fantastis sebesar USD 3,37 triliun per tahunnya (Global Conflict Tracker, 2016). Kedua, adanya kandungan cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 213 miliar barel dan gas alam sebanyak 900 triliun kaki kubik (Nainggolan, 2013). Ketiga, keanekaragaman ikan yang jumlahnya setara dengan 10 persen dari total populasi ikan di dunia (Citradi, 2020).
   Andaikan ketegangan di Laut Cina Selatan terus meningkat hingga terjadi peperangan antarnegara sekitar kawasan, Indonesia sebagai negara yang tidak terlibat konflik secara langsung bahkan akan ikut pula menanggung dampak negatifnya. Selain menimbulkan ancaman bagi kedaulatan Indonesia, konflik di kawasan LCS juga dapat membawa kerugian di sektor ekonomi. Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik (2024) melaporkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD 258,81 miliar.  Sebagian besar ekspor Indonesia tersebut ditujukan ke Cina, Amerika Serikat, dan India. Bahkan, persentase ekspor ke Cina mencapai 25% dari total ekspor. Begitu halnya dengan aktivitas impor Indonesia sepanjang tahun 2023 yang mencatatkan angka sebesar USD 221,87 miliar yang mana sebagian besarnya berasal dari Cina hingga mencapai 28% dari total impor. Tentu saja, fakta ini menunjukkan bahwa adanya konflik di LCS yang merupakan jalur pelayaran ekspor impor akan memberikan dampak kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia.
Ketegangan di kawasan LCS ini harus segera diredam agar tidak menyebabkan terjadinya perang bersenjata di antara negara -- negara yang terlibat konflik. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meredam konflik LCS selama ini berupa perumusan tata cara berperilaku atau yang dikenal dengan Code of Conduct (COC). Pedoman ini dibentuk atas kesepakatan ASEAN dan Cina yang memiliki prinsip penyelesaian konflik secara damai melalui dialog dan konsultasi, serta menghormati kebebasan berlayar dan terbang di atas wilayah LCS. Namun, pada kenyataannya konflik LCS masih saja berlangsung dengan semakin agresifnya Cina dalam meningkatkan aktivitasnya di kawasan tersebut berupa pembangunan pulau reklamasi dan mobilitas militernya. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik ini dapat dikembangkan yang salah satunya melalui keterlibatan Indonesia sebagai negara netral di kawasan LCS.
Langkah Brilian Indonesia dalam Menyelesaikan Konflik di Laut Cina Selatan
Kehadiran Indonesia di tengah pusaran konflik kawasan LCS sangat diperlukan dalam menengahi adu gengsi antarnegara sekitar kawasan yang terlibat sengketa. Hal tersebut dikarenakan posisi Indonesia yang netral dan tidak berpihak ke negara manapun. Dalam hal ini, Indonesia harus memainkan politik luar negerinya yang cenderung bebas dan aktif. Pertama, Indonesia perlu menginisiasi diplomasi melalui perundingan pada forum internasional dimana negara -- negara yang terlibat konflik di kawasan LCS berdiri di satu forum yang sama. Beberapa forum yang di dalamnya terdapat keanggotaan Indonesia, Cina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina adalah ASEAN-Cina Summit, ASEAN Plus Three, (APT), East Asia Summit (EAS), dan United Nations (PBB).
Indonesia di forum internasional tersebut dapat mencetuskan rapat pembahasan mengenai solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di LCS. Posisi Indonesia yang netral di forum kerjasama tersebut akan membuatnya lebih mendapatkan perhatian dibandingkan negara -- negara yang berkonflik. Sehingga, Indonesia dapat lebih leluasa dalam menginisiasi sebuah kebijakan yang berguna dalam penyelesaian konflik di kawasan LCS. Kebijakan yang diinisiasi Indonesia dapat berupa perumusan ulang terkait peraturan dan batas -- batas Laut Cina Selatan yang telah termaktub dalam UNCLOS 1982.
Kedua, Indonesia dapat menginisiasi sebuah program kerja sama pengelolaan sumber daya alam di LCS yang melibatkan negara - negara di sekitar kawasan tersebut. Cara tersebut merupakan salah satu bentuk diplomasi di luar meja perundingan. Mekanisme kerja sama antarnegara yang akan diterapkan di kawasan LCS dapat meniru beberapa model kerja sama internasional yang dilakukan oleh negara -- negara lain. Contohnya, Kerja Sama Pelestarian Danau Victoria yang dilakukan oleh sekelompok negara di Benua Afrika yang bertujuan untuk pengendalian pencemaran dan rehabilitasi ekosistem. Selain itu, ada pula Kerja Sama Pengelolaan Hutan Amazon yang dilakukan oleh Brazil, Peru, Kolombia, dan Bolivia. Kerja sama ini bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Sebagaimana diketahui bahwa LCS mengandung sumber daya alam yang besar berupa cadangan minyak dan gas alam serta keanekaragaman ikan dalam jumlah yang banyak. Mengenai hal ini, Indonesia dapat mencetuskan kerja sama antarnegara kawasan LCS untuk mengelola sumber daya alam secara bersama -- sama. Mekanismenya dapat berupa pembagian kuota pengambilan atau pembagian wilayah untuk masing -- masing negara. Selain itu, dapat pula berupa pembagian waktu sehingga prinsip keadilan dan kesamarataan dapat tercapai dalam kerja sama ini.
Ketiga, Indonesia dapat mencetuskan diplomasi jalur olahraga yang mempertemukan negara -- negara berkonflik di LCS dalam sebuah kompetisi olahraga. Pendekatan jenis soft power ini sering dilakukan Bung Karno di masa lampau. Diplomasi olahraga ini memiliki beberapa tujuan utama yang di antaranya yakni mengurangi kerenggangan hubungan antarnegara, meningkatkan komunikasi, dan memfasilitasi pertemuan antarpemimpin. Diplomasi olahraga juga sering digunakan dalam konflik antarnegara di masa lampau. Sebagai contoh dalam kasus ketegangan Amerika Serikat dan Cina pada tahun 1971, diplomasi olahraga Ping Pong dipilih untuk mendinginkan suasana. Saat itu, tim tenis meja AS diundang ke Cina, yang bersamaan dengan ini membuka jalan bagi kunjungan Presiden AS ke Cina.
      Berbagai langkah brilian yang dapat ditempuh Indonesia dalam menyelesaikan ketegangan di LCS ini harus diimbangi dengan kesadaran negara -- negara yang berkonflik. Semua pasti memahami bahwa perang merupakan jalan buruk untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara, namun tidak semuanya mampu untuk menahan diri. Sehingga, dengan adanya intervensi dari Indonesia sebagai pihak netral dalam konflik ini diharapkan dapat meredakan ketegangan. Pada akhirnya, semua negara yang terlibat konflik di kawasan Laut Cina Selatan harus merenungi kutipan terkenal dari Adolf Hitler sebagai berikut :
" Ketika diplomasi berakhir, perang pun dimulai "
(Adolf Hitler, Pemimpin Nazi Jerman)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H