Dua hari di Melaka, kami habiskan untuk berjalan kaki, memutari warisan budaya di kota itu. Menikmati sore dengan menyusuri Sungai Melaka, memanjakan mata lewat ketinggian di Menara Tamingsari. Tak lupa, mencicipi es cendol durian yang rasanya, hmmmm, tak terkirakan itu. Rasanya, waktu masih kurang dan masih ingin kembali lagi.
Jangan membayangkan kami menginap di hotel mewah selama dua hari itu. Kami sengaja mengambil guest house, empat ranjang dalam satu kamar. Penjaganya tiga anak muda yang gesit dan bersemangat. Tidak lebih dari tujuh kamar di guest house itu. Yang menarik, kami boleh memasak di dapur. Bahkan, tersedia roti buat sarapan pagi.
Bukan hanya kami yang tinggal di situ. Ada keluarga dari Korea Selatan, lalu beberapa bule yang kami tidak tahu asalnya. Kami mengenal ibu dan anak dari Korea Selatan karena istri saya sering bertemu di dapur. Inilah yang kami sebut, kami tidak sekadar bersenang-senang. Kami punya teman baru, belajar berkomunikasi dengan orang lain yang beda negara. Suatu hal yang mungkin tidak akan kami jumpai kalau kami menginap di hotel berbintang.
Beranjak dari Melaka, kami kembali ke terminal dan melanjutkan ke Kuala Lumpur dengan bus. Di terminal kami bertemu dengan perempuan yang akhirnya kami tahu berasal dari Ghuangdong, China. Dia terlihat kebingungan. Bukan karena harus pergi ke arah mana, tapi karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Sesekali dia menyapa orang yang lewat dengan bahasa China, tapi tidak ada yang memahami.
Saya meminta istri saya untuk mendekati dan bertanya. Perempuan itu lantas merogoh saku baju dan mengeluarkan lembaran kertas. Rupanya booking-an sebuah hotel di kawasan China Town, Kuala Lumpur. Dengan bahasa isyarat, sambil sesekali dia memencet-mencet smartphone untuk menerjemahkan, akhirnya dia bersedia ikut bersama kami.
Kami berpisah ketika bus tiba di Terminal Bersepadu Selatan. Ini terminal yang sangat megah, sungguh mirip bandara. Anak-anak saya berseru keheranan karena tidak banyak terminal di Surabaya yang seperti itu. Haahahha, bahkan mungkin tidak ada. Kalau mau diwujudkan, harus menunggu puluhan tahun lagi. Sangat jauh, negara Indonesia tertinggal dari Malaysia.
Berada di ibukota Malaysia, kami menikmati dua hal saja : Menara Kembar Petronas dan Aquaria KLCC. Waktu terbatas hingga sore. Kami mengejar bus ke Bandara LCCT untuk beristirahat di Tune Hotel. Maskapai AirAsia rute Kuala Lumpur-Solo, terbang pada pagi hari. Suasana masih cukup gelap meski waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 waktu setempat.
Terima kasih AirAsia, mimpi saya bersama keluarga akhirnya terwujud. Kini kami berencana mengunjungi Bangkok. Hanya sayang, sudah tidak ada penerbangan langsung AirAsia, untuk Surabaya-Bangkok, demikian pula sebaliknya. Ayo dong, hidupkan lagi rutenya. Bawa kami sekeluarga terbang ke negeri-negeri impian kami. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H