Mohon tunggu...
Akbar Haris
Akbar Haris Mohon Tunggu... Mahasiswa - ...

Welcome

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bisnis Shopping Center di Jakarta Menghadapi Era Digitalisasi

29 Maret 2021   09:36 Diperbarui: 29 Maret 2021   09:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jakarta menjadi salah satu pusat bisnis terbesar di Indonesia. Dengan menyandang status sebagai kota metropolitan dan banyaknya lapangan pekerjaan, Jakarta menjadi tempat favorit bagi para perantau untuk mencari kerja. Meskipun luas wilayahnya kecil, perekonomian Jakarta mempunyai kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional yaitu sebesar 16,86 persen pada tahun 2019 sehingga menjadi daya tarik yang besar bagi investor baik investor dalam negeri maupun luar negeri. Pembangunan untuk properti komersial di Jakarta akan memberikan potensi keuntungan tinggi bagi investor. Salah satu jenis properti komersial yaitu shopping center atau pusat perbelanjaan.

Seiring perkembangan kebutuhan dan gaya hidup manusia secara global, definisi pada pusat perbelanjaan semakin kompleks dan berubah sesuai tuntutan kebutuhan penggunanya. Dalam kehidupan masyarakat Kota Jakarta yang modern, shopping center telah menjadi simbol urban. Sarana untuk pembelian sesuatu yang sudah direncanakan di rumah menjadi fungsi shopping center yang paling minimal. Shopping center juga sebagai wadah kebutuhan berbelanja praktis, yaitu konsep berbelanja dan hiburan sekaligus di satu tempat (Sari 2017).

Namun seiring dengan berkembangnya zaman, shopping center kini mulai ditinggalkan para penikmatnya. Pertumbuhan globalisasi yang cepat mengakibatkan era digital berkembang pesat, salah satunya dipertegas dengan menjamurnya pasar online yang mengakibatkan pergeseran selera berbelanja masyarakat (Rohimah 2018). Media pemasaran online pada era digital seolah sebagai primadona pemecah solusi, oleh sebab itu pelaku usaha perlu untuk memanfaatkan media pemasaran online sebagai motor penggerak roda bisnisnya.

Pemasaran online telah menjadi solusi penghubung antara produsen dengan konsumen yang meminimalisir biaya. Pada era digital seperti sekarang ini persebaran informasi bisa dilakukan lebih cepat, lebih mudah dan tentunya jauh lebih murah. Hal ini tentu menjadi solusi singkat cepat dan efisien dalam mengembangkan usaha.

Fasilitas yang disediakan di internet memberikan warna baru bagi dunia bisnis. Online shop merupakan salah satu fasilitas yang disediakan di internet, yang mempermudah konsumen untuk melakukan transaksi dan dapat mengefisiensikan waktu. Perubahan cara belanja dengan menggunakan online shop sedikit banyak menggeser cara bertransaksi di pasar menggunakan komunikasi secara verbal dalam bertransaksi, sebaliknya jika berbelanja melalui online shop proses bertransaksinya hanya melalui jaringan internet tanpa bertatap muka sehingga tidak adanya proses tawar menawar atau berkomunikasi verbal (Fatimah 2017).

Perubahan Pola Perilaku Konsumen

Dalam era digitalisasi di mana perkembangan teknologi semakin rapid dan modern memberikan dampak berupa inovasi, perbaikan bahkan disrupsi terhadap berbagai sektor. Sektor retail merupakan salah satu sektor yang terdampak atas perkembangan teknologi tersebut yaitu dengan hadirnya berbagai website, marketplace, serta aplikasi pesan instan. Melalui berbagai platform tersebut, konsumen mengalami perubahan dalam cara berbelanja, seperti konsumen dapat memiliki banyak pilihan, memperoleh informasi atas suatu produk, bahkan melakukan pembelian secara langsung (Deloitte, 2014).

Penetrasi pengguna internet di Indonesia pada tahun 2019 mencapai sebesar 73,7% dari total populasi atau sebesar 196.714.070 pengguna yang tersebar di seluruh Indonesia. Jakarta sendiri berkontribusi sebesar 4,6% dari total penetrasi tersebut atau sebesar 8,9 juta pengguna internet. (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2019). Dengan total penduduk sebanyak 10 juta jiwa pada tahun 2019, maka diperkirakan 85% penduduk Jakarta telah memiliki akses ke jaringan internet sehingga platform digital sangat potensial.

Rohimah (2018) dalam penelitiannya pada kondisi pasar ritel modern (mall, plaza, supermarket dan tempat belanja lainnya) dan pasar digital/online mendapatkan beberapa alasan mengapa masyarakat lebih memilih belanja online. Yaitu meminimalkan biaya, mengurangi kelelahan, efisiensi daya dan waktu, terhindar dari masalah kerepotan, mengurangi nafsu belanja, harga bersaing, diskon menarik serta faktor kenyamanan.

Hglund dan Heideken (2019) dalam penelitiannya di Stockholm CBD mendapatkan kesimpulan bahwa perubahan pola perilaku konsumen menyebabkan sektor retail fisik mengalami peningkatan kekosongan. Dari penelitian tersebut didapat bahwa pola perilaku konsumen menyebabkan penurunan sales pada toko-toko ritel fisik dan menyebabkan tenant membutuhkan space yang lebih kecil dan terhadap space yang lebih besar akan digunakan oleh sektor lainnya.

Kejadian serupa juga dialami di Indonesia oleh para pelaku usaha di bidang properti retail, perusahaan ritel mengalami penurunan laba karena tidak dibarengi dengan inovasi teknologi, serta dikarenakan harga, pengiriman, dan produk yang tidak kompetitif dibanding bisnis online. Hal ini menyebabkan perlunya pengembang mal untuk menghadirkan inovasi berupa peningkatan kenyamanan dan pengalaman berbelanja  (Anton, 2019 dalam Didik & Dian 2019).

Peningkatan peralihan transaksi digital di masyarakat ini diperkuat dengan adanya pandemi selama tahun 2020. Selama pandemi berlangsung, masyarakat menjaga protokol kesehatan dengan tetap di rumah dan menjaga jarak. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh produsen yang bergerak di bidang digitalisasi dengan melakukan pelayanan e-commerce yang semakin gencar, salah satunya dengan melakukan promosi besar-besaran. Hal ini terlihat pada sejumlah platform seperti Shopee dan Tokopedia yang melakukan promosi cashback (uang kembali) dan diskon ongkos kirim. Mudah dan murahnya berbelanja melalui e-commerce menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat.

Pertumbuhan E-commerce di Jakarta

E-commerce menjadi industri online yang berkembang sangat pesat di Indonesia. Pertumbuhan pasar e-commerce di Indonesia didorong oleh populasi kaum muda. di mana kelompok usia dengan pengeluaran e-commerce tertinggi adalah usia antara 30 hingga 39 tahun. Penetrasi internet dan smartphone juga menjadi faktor penyebab meningkatnya adopsi pembayaran digital untuk berbagai tujuan selain berbelanja. Ditemukan juga, tingkat penetrasi internet di kalangan pelajar usia lima hingga 24 tahun di Indonesia tertinggi pada 2019, yakni 53,06 persen (Nurhayati, 2020).

Pertumbuhan ini ditandai dengan berbagai macam media penjualan online salah satu diantaranya adalah marketplace. Banyak marketplace yang bersaing pada kurun waktu tahun 2017 dan 2018. Beberapa marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Olx bersaing untuk memberikan layanan inovatif yang memudahkan pengguna dalam berbelanja maupun pembayarannya.

E-commerce bertumbuh paling pesat pada kota-kota besar yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada kota-kota besar memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, infrastruktur jaringan internet dan ketenagalistrikan yang baik sehingga mampu menunjang kegiatan e-commerce yang berbasis perangkat teknologi modern. Jakarta merupakan daerah dengan intensitas dan nilai transaksi e-commerce paling tinggi di Indonesia.

Menurut data yang dilansir oleh statista.com melalui survei yang dilakukan oleh Statista Indonesia pada tahun 2019, Jakarta memiliki sebaran pengguna e-commerce paling tinggi di Indonesia yaitu sebesar 58 persen. Sebagai pembanding, pengguna e-commerce di Surabaya hanya 5 persen dari pengguna e-commerce nasional.

Nilai transaksi E-commerce di Jakarta setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan selaras dengan peningkatan nilai transaksi di Indonesia. Pertumbuhan paling besar terjadi pada kurun tahun 2017-2018 yang mengalami peningkatan 36,77 triliun rupiah atau lebih besar 150 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini selaras dengan banyaknya platform online dan marketplace baru bermunculan dan melakukan inovasi besar-besaran sehingga menarik banyak pembeli untuk melakukan transaksi secara online.

Tingkat Hunian Shopping Center di Jakarta

Transaksi e-commerce di Jakarta yang mengalami peningkatan setiap tahunnya seakan menjadi pemicu utama peralihan transaksi jual-beli di masyarakat dari transaksi secara konvensional menjadi transaksi secara digital. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan tingkat kekosongan atas properti shopping center di Jakarta. Kekosongan terjadi akibat penawaran yang meningkat secara signifikan namun tidak diimbangi dengan permintaan yang pada akhirnya menyebabkan oversupply. Tingkat kekosongan selama tahun 2020 mencapai 23,6%. Jumlah ini meningkat sebanyak 2,8% dibandingkan dengan tahun 2019 yakni sebesar 20,8% (Colliers, 2021). Sejalan dengan peningkatan tingkat kekosongan, tingkat hunian properti shopping center semakin menurun selama tahun 2017 hingga 2020

Tingkat hunian shopping center di Jakarta di tahun 2018 stagnan di level 83,6%, sama dengan tahun 2017. Dilansir dari detik.com, pada tahun 2018 memang tidak terjadi penambahan supply dari shopping center yang signifikan, namun banyaknya tenant yang tutup mempengaruhi tingkat hunian shopping center. Lalu di tahun 2019 terjadi penurunan tingkat hunian shopping center menjadi sebesar 79,8%, turun 3,8% dibandingkan tingkat hunian di tahun sebelumnya. Dan di tahun 2020 tingkat hunian shopping center di Jakarta kembali turun menjadi 77,4%, turun sebanyak 2,4% dari tahun 2019.

Strategi yang Dapat Dilakukan oleh Tenant dan Pengelola Shopping Center Menghadapi Era Digitalisasi

Strategi yang dapat ditempuh bagi tenant dan pengelola shopping center agar mampu bertahan dan tidak kalah bersaing di era digitalisasi:

  • Bagi tenant dapat melakukan ekspansi ke platform online (website, marketplace, social media) agar konsumen atau calon konsumen dapat memperoleh informasi terkait produk yang ingin dibeli secara langsung di toko ataupun melakukan belanja secara online.
  • Bagi pengelola shopping center dapat menyediakan tempat berkumpul yang terdiri dari berbagai sektor campuran dimana terdapat berbagai macam tenant sebagaimana contoh penelitian Hglund dan Heideken (2019) di Sergelstan (Stockholm CBD) yang melakukan shifting dengan memperbanyak tempat berkumpul yang didukung oleh  food and beverage tenant.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun