Perayaan hari kartini memang selalu identik dengan pengenaan baju kebaya oleh perempuan, mulain dari anak kecil sampai yang sudah udzur, mulai dari tingkatan pendidikan TK sampai Perguruan Tinggi, mulai dari buruh tani sampai pejabat tinggi. Fenomena tersebut mungkin sudah sejak lama, karena belum pernah teredengar penelitian mengenai sejak kapan budaya memakai kebaya saat hari kartini itu mulai ada, hal-hal tersebut yang sedari tadi dipikirkan Sarawita.
Sarawita (Bilung) yang termenung dari tadi di samping Togog melontarkan pertanyaan “Kang, kenapa pemakaian kebaya secara serentak ini hanya pada hari kartini?”
“Begini lung” Togog menjawab
“Simpel saja, sama halnya kalau kamu pergi sekolah, pasti–kan seragam yang kamu pakai; cuma dipakai pas sekolah, ngga dipakai buat main layangan ke sawah”.
“ Tapi anak sekolah di daerah timur Indonesia ada yang memakai seragam itu buat main sehari hari, buat sekolah juga buat main, gimana Kang? Malah kadang ada yang cuma pakai k . . . . .”
Belum selesai Bilung bertanya, langsung di cegat Togog.“Bentar dulu lung, kita ini bicara soal emansipasi wanita atau kesejahteraan pendidikan di Indonesia bagian timur?”.
“ Loh kan berkaitan Kang”
“Apa kaitannya Lung?”
“Kalo wanita Indonesia, istri-istri pejabat itu sudah mengkoar-koarkan emansipasi pasti kan ngga mungkin menyuruh suaminya buat nambah uang lewat korupsi, yang mungkin sebenarnya uang itu untuk pembangunan pendidikan”, jawab bilung.
“Halah, sok kritis kamu lung. Emangnya pejabat itu berani meng-korupsi dana pendidikan lung?”.
”Lhah wong dana haji aja berani kok” jawab Bilung dengan suara keras karena kesal dengan pertanyaan Togog yang pura-pura lengob, Bilung tau kalau Togog sebenarnya Dewa yang turun ke bumi untuk membimbing orang-orang jahat kembali ke jalan yang benar. Togog Cuma mesem mendengar jawaban Bilung yang agak kesal.
Lama mereka berdua terdiam, hanya menyeruput kopi dan menghisap rokok sambil memandangi hamparan padi yang mulai menguning di depan rumah. Padi yang mulai menguning tandanya bisa segera dipanen, tetapi akhir-akhir ini Togog dan Bilung sedang gelisah setelah mendengar kabar kalau Sawah di depan rumahnya bakalan didirikan pabrik semen. Togog dan Bilung bingung bukan lantaran sawah yang di depan rumahnya itu miliknya. Togog dan Bilung hanya bingung dengan Pidato Rahwana dua minggu yang lalu yang isinya adalah kita harus berdikari di bidang pangan, tapi kok sawah mau didirikan pabrik semen.
“Sekarang aku yang nanya lung”.
“Nanya apa kang?” jawab bilung dengan santai seolah-olah dia sudah khatam masalah wanita dan ‘kewanitaan’.
“Kenapa harus Kartini yang dijadikan sebagai sosok emansipasi wanita? Kenapa bukan Cut Nyak Dien? Apa karena kartini itu Istri ke empat?”.
Bilung bingung, dengan segala alasan akhirnya dijawab “Gini Kang, Kartini itu kan hanya simbol bagi emansipasi wanita kalau masalah dia istri ke empat saya ngga tau kang. Sebaiknya kita ngga usah mengkotak-kotakan lagi bangsa ini kang. Wong tanpa dikotak-kotakan saja sudah pada beda-beda kok, harusnya kita sibuk mempersatukan. Kalau bisa pemilihan Presiden itu musyawarah, ngga usah voting kan malah lebih mengamalkan Pancasila sila ke, Kang. . .kang. . .bangun kang, dasar semprul!!!”.
Togog terbangun dan langsung tertawa ”Huahahahaha . . .kamu ini habis makan apa lung? Kok tumben pinter? Huahahaha”
“Jaaaaancukk kowe kang, Asuuuuuu huahaha” Bilung pun ikut tertawa.
“Bener jawabanmu lung, kita ngga usah mengkotak-kotakan, ngga usah mengkafir-kafirkan orang lain yang tidak sependapat dengan kita. Kalo sama-sama legowo dan tenggang rasa kan enak lung”. “Iya bener kang, kaya kata-kata mensana in corpore sano, ya ngga kang?”.
“Halah raimuuuu lung”
https://harisahmadmu.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H