Mohon tunggu...
haris faqih
haris faqih Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Melihat Kereta Cepat dari Dua Sisi  

18 Februari 2016   19:12 Diperbarui: 18 Februari 2016   19:23 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu apakah perbincangangan pro kontra High Speed Rail (HSR) Jakarta-Bandung masih hits diperbincangkan setelah kasus jesica-mirna usang. Sebagai pengingat Proyek senilai 5,5 M Dollar US ini  merupakan proyek patungan dari 4 BUMN Indonesia dan China Railway Internationla (10%), dimana 4 BUMN yaitu PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PTPN VIII dan PT KAI harus menyumbang sebesar 15% dari total investasi sebagai kompensasi 60% kepemilikan saham di PT KCIC (perusahaan yang dibentuk untuk mengelola proyek HSR), sedangkan perusahaan china, CRI sebesar 10% sisanya sebesar 75% ditutup oleh pinjaman China Development Bank.

Sudah seperti biasanya kebijakan pemerintah selalu menuai komentar dari para masyarakat baik pro maupun yang kontra, hal itu menandakan betapa rakyat ini peduli dengan nasib bangsa ke depan.

Bagi yang kontra saya coba membaca beberapa tulisan-tulisan yang ilmiah, karena saya sama sekali tidak tertarik dengan kritikan-kritikan tanpa ilmu dan fakta, suudzon namanya, dari mulai antek china itulah apalah ok next. Salah satu tulisan yang paling mencerahkan adalah tulisan dari Pak Agus Pambagio di detik.com.  Dalam tulisannya beliau memaparkan ketidaksetujuaanya dengan argument yang sangat masuk akal dan itung-tungan yang tidak ngejelimet, kalau saya tidak salah menyimpulkan alasan kenapa belaiau berpendapat bahwa proyek tersebut harus dihentikan adalah pertama proyek tersebut akan memberatkan kinerja keuangan ke-empat BUMN dimana ke-empat BUMN harus patungan sebesar Rp19,5 T, dana yang cukup besar jika dibandingkan dengan ekuitasnya. Lebih jauh lagi proyek ini dikhawtirkan dapat mengancam eksistensi ke-4 BUMN dan jika sudah seperti itu maka mau tidak mau Negara lah yang harus turun tangan  mengucurkan kembali dana segar mealui PMA  yang ujung-ujungnya keluar dari APBN lagi. Jadi yang B to B itu apanya? (untuk lebih detailnya silakan baca link http://news.detik.com/kolom/3035887/high-speed-rail-versus-matinya-bumn)  

Dari kubu pro nama besar Prof. Renhald Kasali nampaknya paling pantas mewakilinya, dengan nama besarnya saja nampaknya sangat sulit untuk tidak setuju dengan pendapat-pendapatnya.

Menurut saya kedua tulisan diatas semuanya bener, halah sejago apa saya bisa menilai benar-atau tidak benar pendapat para master, oke saya koreksi, kedua tulisan diatas sangan masuk akal, setidaknya akal saya yang pendek ini, sangat mencerahkan dan memberikan wawasan yang baru bagi saya.

Untuk tulisan pertama seperti yang telah saya sebutkan di atas, Pak Agus Pambagio memandangnya dari sudut pandang kinerja keuangan BUMN, itung-itungan secara finance, itung-itungan murni bisnis dan jika merugi maka pemilik sahamlah, dalam hal ini negara, yang paling merugi bukan jajaran direksi.

Untuk tulisan kedua nampaknya Prof. Renhald Kasali lebih mengarahkan pada prespektif yang berbeda, beliau melihat sisi lain yang dapat diuntungkan dari proyek ini, yaitu geliat ekonomi daerah sekitar atau sering disebut multiplier effect, bagaimana dampak ekonomi yang ditimbulkan untuk daerah yang dilewati kereta tersebut, berapa lapangan pekerjaan baru yang dapat dibuka.

Untuk apa wong Jakarta dan Bandung sudah maju? Jakarta dan Bandung hanyalah ujung, kereta cepat tersebut melawati beberapa daerah seperti karawang, Kabupaten Bandung yang katanya daerahnya masih belum berkembang (entah lebih tertinggal mana dengan daerah saya pandeglang, hehe…). Sayangnya prospek geliat ekonomi yang ditimbulkan sangat sulit dikuantitasir agar dapat dikonversi sebagai nilai plus dari proyek HSR ini.

Jika Pak Jokowi akhirnya memutuskan untuk membangun kereta cepet artinya Pak Jokowi lebih memilih menggunakan pendekatan teori motivasi companywide performance dibanding divisions performance. Pak Jokowi lebih mengharapkan BUMN yang mempunyai dampak terhadap organisasi secara keseluruhan dalam hal ini Negara dibandingkan dengan capaian kinerja BUMN itu sendiri, keuntungan dari pendekatan tersebut lebih real dan lebih terasa dampaknya untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan, namun kerugianya adalah kinerjanya sulit diukur, artinya ke-4 BUMN tetap akan dinilai gagal ketika mereka merugi atau bahkan pailit meskipun ekonomi daerah yang dilewati proyek tersebut berhasil terdongkrak. Pak Jokowi dan jajaranyapun pasti berpuluh2 kali lipat lebih pintar dibanding kita para komentator, dan tentunya sudah mengetahui dan siap mengambil resiko yang akan didapat jika proyek tersebut merugi yang mengancam eksistensi ke-4 BUMN, karena setidaknya “pada saat ini” proyek ini tidak membebani APBN. Kebijakan ini sangat mirip dengan kebijakan yang diambil oleh china, di china BUMN merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintah.

Hanya opini saja, menurut saya baik yang pro maupun yang kontra mempunyai goal yang sama yaitu menginginkan negara ini tidak rugi namun melihatnya dari prespektif yang berbeda, siapa yang benar? bukan kapabilitas saya yang berstatus pelajar memberikan argument siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi yang jelas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan bahwa beberapa tujuan didirikanya BUMN adalah pertama: memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; kedua: mengejar keuntungan.

Kubu yang kontra nampaknya memandangnya dari sudut tujuan kedua yaitu BUMN seharusnya bisa untung dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk negara baik berupa deviden maupun pajak. Namun kubu kontra berpendapat alih-alih menguntungkan, proyek ini malah mengancam eksistensi 4 BUMN yang sudah mapan dan kalau sudah begini mau tidak mau negara harus turun menyelamatkannya melalui PMA yang artinya ada dana APBN yang dikeluarkan, atau opsi yang lebih buruknya lagi adalah privatisasi.

Pemerintah dan kubu yang pro memandangnya dari sudut pandang tujuan pertama yaitu memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya. Namun sayangnya sangat sulit untuk menghitung seberapa besar sumbangan yang dapat diberikan proyek HSR ini terhadap perkembangan ekonomi nasional, para pejabatpun hanya mengatakan proyek ini dapat mendongkrak perekonomian tapi tidak menjelaskan secara rinci. Sayapun sudah mencari-cari di google “cara menghitung dampak proyek terhadap kemajuan ekonomi”, hasilnya nihil mungkin untuk mengetahuinya saya harus lanjut sekolah lagi kali yah…

Terkadang 2 tujuan di atas berdampingan terkadang pula bertabrakan, menguntungkan bagi perkembangan ekonomi bangsa belum tentu menguntugkan bagi BUMN itu sendiri, jadi mungkin ada baiknya pemerintah melihat dari kedua sudut pandang secara bersamaan, mempertimbangkan baik buruknya. Ah pasti sudah lah yah, orang di Indonesia banyak orang pinter. 

Pandeglang, 16 Februari 2016

Faqih 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun