Ajakan rekonsiliasi kubu Jokowi-Ma'ruf terhadap kubu Prabowo-Sandi memang bisa ditandai sebagai sesuatu yang bagus. Mengajak damai, tidak ada permusuhan, dan mendukung 2019-2024 demi Indonesia maju.
Rekonsiliasi yang ditawarkan ini berupa kursi-kursi jabatan misalnya kementerian yang akhir-akhir ini sempat menjadi perbincangan publik. Artinya, pemerintah ingin para oposisi untuk berpartisipasi di pemerintahan periode kedua Joko Widodo.
Jika rekonsiliasi ini terjadi, secara tidak langsung, bisa mungkin pemerintah menginginkan tidak ada oposisi yang selalu mengkritik. Karena haluan dari ini masih belum jelas.
Kenapa? Karena ini berdasarkan kursi-kursi jabatan yang telah ditawarkan kepada oposisi. Perandaiannya, jika oposisi memutuskan rekonsiliasi dan menempati jabatan pemerintahan, maka muncullah sebuah dalil "taat atau kehilangan". Akhirnya mereka yang sebelumnya adalah oposisi, Â dituntut untuk taat terhadap segala kisi-kisi problem pemerintahan. Memilih menentang bisa berakibat pada sebuah kehilangan.
Soal ini sudah lumrah terjadi pada pejabat-pejabat negara. Di lembaga-lembaga pemerintahan sulit bagi kita untuk menemukan orang-orang yang murni mengabdi pada negara. Rata-rata, mereka bekerja untuk mencari suaka. Selain itu, pekerja juga dituntut taat sistem. Logisnya, sulit bagi pejabat pemerintahan yang sebelumnya oposisi untuk menentang kebijakan. Karena itu dapat membuat mereka kehilangan sesuatu yang penting bagi kehidupan mereka.
Selain itu, terdapat problem lain yang lebih substansial dari rekonsiliasi ini. Pertanyaannya, tepatkah rekonsiliasi dengan cara menawarkan kursi jabatan kepada oposisi? Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, walaupun semua orang bebas memilih dan berkehendak, tapi kebebasan tidak bisa lepas dari watak keniscayaan. Artinya, jabatan boleh ditawarkan, asalkan kepada orang-orang yang memiliki kecocokan dengan jabatan tersebut.
Watak keniscayaan bisa dimengerti bahwa di dunia ini terdapat posisi-posisi yang lebih pantas dijalankan oleh orang-orang tertentu. Misalnya, Menteri kelautan sebaiknya dijalankan oleh orang yang memiliki wawasan soal laut dan arti pentingnya laut. Meskipun ada pengecualian bahwa siapa pun bisa mendudukinya, tapi tidak semua orang memiliki watak kelautan.
Dengan begitu, cara rekonsiliasi tidak tepat jika hanya menawarkan kursi kepada oposisi tapi kursi-kursi kosong tersebut diberikan kepada orang yang tidak memiliki watak yang cocok dengan kursi tersebut.
Hal ini kemudian menjadi penentu tepat atau tidak ajakan rekonsiliasi dengan cara menawarkan kursi jabatan. Tentunya, tidak semua orang bisa benar-benar tepat menduduki sebuah jabatan. Misalnya, seorang ahli hukum ditawarkan jabatan Menteri Pertahanan. Keputusan tersebut tentunya tidak seimbang dan akhirnya tidak tepat. Karena watak orang itu ada di dalam bidang hukum bukan pertahanan.
Rekonsiliasi memang memiliki tujuan yang baik. Tapi menawarkan kursi jabatan kepada orang-orang yang tidak tepat, akan merusak rekonsiliasi itu sendiri. Di sinilah arti pentingnya mematangkan kembali kepada siapa kursi-kursi jabatan itu akan diberikan.
Yang perlu dimatangkan bisa kita mulai dengan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah tujuan rekonsiliasi untuk menghindari kritik? Jelas salah. Kritik bukan menghancurkan, tapi membangun atau menutupi lubang-lubang kesalahan. Tidak ada pemerintahan suatu negara tanpa celah-celah buruknya. Apalagi Indonesia yang menopang berbagai perbedaan. Tapi dengan kritik, celah-celah itu bisa kita perbaiki bersama. Hanya pemerintahan otoriterlah yang tidak menginginkan kritik.
Penawaran kursi jabatan sebagai bentuk rekonsiliasi yang tujuannya meniadakan kritik, di satu sisi menciptakan kedamaian, namun di sisi lain menciptakan kebobrokan sistem di dalamnya. Mengapa demikian? Karena rekonsiliasi tidak untuk kedamaian, tapi kerja sama agar tidak saling mengkritik.
Selain itu, kebobrokan sistem disebabkan oleh orang-orang tertunjuk yang tidak memiliki watak kecocokan dengan pekerjaannya. Akibatnya, terjadilah pelanggaran-pelanggaran yang merugikan negara.
Lalu pada akhirnya rekonsiliasi menawarkan kedamaian, tapi sekaligus menciptakan masalah yang lebih substansial. Lebih baik tidak ada rekonsiliasi, tapi tidak ada keresahan substansial yang merugikan negara dan menghianati masyarakat.
Oleh karena itu, perlu kita tinjau ulang pembagian kursi-kursi jabatan tersebut sebagai bentuk rekonsiliasi agar tidak menimbulkan masalah-masalah baru. Tawaran itu boleh-boleh saja, asal orang-orang tertunjuk selaras dengan watak tugasnya. Rekonsiliasi untuk sebuah kedamaian, tapi kedamaian yang tidak membiarkan masalah-masalah yang ada terus tumbuh,
Artinya, pemerintah harus terbuka dengan kritik, baik itu dari anggota pemerintahan maupun dari oposisi. Jika ini menjadi tujuan dari rekonsiliasi, bentuk apa pun yang ditawarkan akan menciptakan keseimbangan. Tentunya, tidak ada konsekuensi khusus bagi mereka yang kritis. Karena hal itu bisa menambal celah-celah buruk yang mungkin tidak kita sadari bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H