Mohon tunggu...
Hari Prasetya
Hari Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge Seeker

Mengais ilmu dan berbagi perenungan seputar perbankan, keuangan, dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengukur Istitho'ah Keuangan Berhaji, Sebuah Perspektif

6 Maret 2022   05:55 Diperbarui: 6 Maret 2022   09:40 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah SWT adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu". (QS. Ali Imran: 97)

Syarat Wajib Haji

Ibadah haji merupakan pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Oleh karenanya, setiap muslim pasti berkeinginan menyempurnakan ke-Islam-annya dengan menunaikan ibadah haji paling tidak sekali seumur hidup. Pelaksanaan ibadah haji mempunyai beberapa prasyarat yang wajib dipenuhi, yakni: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu (istitho’ah). 

Untuk itu, sebelum menunaikan ibadah haji setiap calon jemaah perlu dipastikan telah memenuhi prasyarat istitho’ah tersebut. Kewajiban melaksanakan ibadah haji dapat dinyatakan gugur apabila calon jemaah tidak memenuhi prasyarat istitho’ah, baik dari segi keuangan maupun kesehatan.

Dalam satu riwayat, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya ayahku telah memiliki perbekalan yang cukup untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi dia telah tua dan tidak mampu bertahan di atas kendaraan untuk waktu yang lama, apakah aku dapat melaksanakan haji untuk mewakilinya?" Beliau SAW menjawab, "Lakukankah haji untuk mewakilinya." Ayah sahabat tersebut dipandang tidak memenuhi prasyarat istitho’ah kesehatan sehingga gugur kewajiban berhaji-nya.   

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitho’ah Kesehatan Jemaah Haji, yang menjadi acuan dalam pengujian atas pemenuhan prasyarat istitho’ah kesehatan bagi calon jemaah haji. 

Dalam Permenkes tersebut, istitho’ah didefinisikan sebagai “kemampuan jemaah haji secara jasmaniah, rohaniah, perbekalan, dan keamanan untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban kepada keluarga”.

Sedangkan istitho’ah kesehatan didefinisikan sebagai “kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga jemaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan agama Islam”. Permenkes tersebut mengatur kriteria yang jelas dan rinci mengenai prasyarat istitho’ah kesehatan bagi calon jemaah haji.

indonesiainside.id
indonesiainside.id

Sejalan dengan ketentuan tersebut, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) - Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4001/2018 yang mewajibkan adanya surat keterangan istitho’ah kesehatan sebagai prasyarat bagi calon jemaah haji melakukan pelunasan biaya perjalanan ibadah haji, yang mulai berlaku pada musim haji tahun 2019. 

Calon jemaah haji yang dinyatakan tidak memenuhi istitho’ah kesehatan tidak dapat melakukan pelunasan biaya haji, tidak akan divaksin meningitis, dan tidak akan diberikan surat panggilan masuk asrama (SPMA).

Kementerian Kesehatan merupakan otoritas yang merumuskan definisi istitho’ah kesehatan, menyusun kriterianya, sekaligus yang menguji pemenuhannya. Status istitho’ah kesehatan digunakan sebagai dasar oleh Kementerian Agama untuk memproses keikutsertaan jemaah dalam pelaksanaan haji, yang meliputi: istitho’ah; istitho’ah dengan pendampingan; berangkat tunda; dan tidak istitho’ah. 

Lantas, bagaimana dengan istitho’ah keuangan, siapa yang mendefinisikan, siapa yang menguji pemenuhannya, serta bagaimana kriteria dan pengujian atas pemenuhannya?

Struktur Biaya Haji

Beberapa tahun lalu di media marak diskusi mengenai pemberian dana talangan haji dari perbankan yang digunakan masyarakat untuk mempercepat perolehan nomor porsi dan masuk daftar tunggu haji. Untuk memperoleh nomor porsi haji, calon jemaah harus membayar setoran awal sebesar Rp25 juta. Beberapa pendapat menyatakan talangan haji merupakan utang sehingga calon jemaah dipandang masih belum memenuhi prasyarat istitho’ah keuangan. 

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa mengingat masa tunggu haji yang lama sehingga calon jemaah masih memiliki waktu untuk melunasi talangan tersebut dan memenuhi prasyarat istitho’ah, atau calon jemaah tersebut sejatinya telah memiliki harta yang cukup untuk memenuhi prasyarat istitho’ah tetapi hartanya dalam bentuk tidak likuid, aset tetap, atau tidak dalam bentuk uang kas.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1440H/2019M dan Pengeluaran Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1440H/2019M yang Bersumber Dari Nilai Manfaat, biaya haji yang harus dibayar setiap jemaah reguler (direct cost) ditetapkan rata-rata Rp35,2 juta dengan rentang yang bervariasi dari Rp30,9 juta di Embarkasi Aceh sampai Rp39,2 juta di Embarkasi Makasar. 

Pembayaran direct cost dari jemaah tersebut hanya cukup untuk tiket penerbangan sebesar Rp29,55 juta dan dikembalikan ke jemaah sebagai biaya hidup (living cost) sekitar Rp5,68 juta (SAR 1.500). Tarif penerbangan haji relatif mahal karena menggunakan pesawat carter dan setiap jemaah dihitung 2 kali pulang-pergi karena saat keberangkatan pesawat terisi penuh pulangnya kosong, begitu pula sebaliknya.

Keppres tersebut juga menetapkan alokasi pengeluaran penyelenggaraan ibadah haji untuk jemaah reguler yang bersumber dari nilai manfaat (subsidi atau indirect cost) sebesar Rp7,039 triliun, atau jika dibagi jumlah jemaah reguler sebanyak 202.487 jemaah menjadi berkisar Rp34,8 juta per jemaah. Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya biaya riil haji (hajj real cost) untuk setiap jemaah reguler pada tahun 2019 rata-rata sekitar Rp70 juta (Rp35,2 juta + Rp34,8 juta).

Sebagai perbandingan, dalam Keppres tersebut ditetapkan juga biaya haji untuk Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD), di Embarkasi Aceh sebesar Rp66,6 juta dan di Embarkasi Makasar sebesar Rp73,5 juta. TPHD berjumlah 1.513 petugas haji yang tidak mendapat subsidi sehingga biaya haji yang dibayar dapat menggambarkan biaya riil haji. Sebagai catatan, jumlah jemaah reguler tahun 2019 sebanyak 204.000 jemaah dan petugas haji, belum termasuk tambahan kuota sebesar 10.000 jemaah yang ditetapkan kemudian.

Ukuran Istitho’ah Keuangan

Lamanya masa tunggu haji memunculkan pandangan bahwa pengelolaan dana setoran awal akan menghasilkan nilai manfaat yang besar untuk mengurangi biaya haji yang harus dibayar oleh jemaah. Sejalan asas transparan dan akuntable, serta memperhatikan hak jemaah tunggu, UU Nomor 34 Tahun 2014 mengamanatkan kepada BPKH untuk membagikan nilai manfaat secara berkala ke rekening virtual (virtual account/VA) jemaah tunggu. 

Besaran pembagian tersebut berdasarkan persentase dari nilai manfaat yang diperoleh, dan ditetapkan setiap tahun setelah mendapat persetujuan DPR. BPKH mulai tahun 2018 telah membagikan nilai manfaat ke rekening virtual jemaah tunggu.

Persentase nilai manfaat yang dialokasikan untuk subsidi akan berkorelasi terbalik dengan persentase nilai manfaat yang dibagikan kepada rekening virtual jemaah tunggu. Semakin besar porsi yang diambil untuk subsidi, akan semakin kecil porsi yang akan dibagikan ke rekening virtual jemaah tunggu.

Pada tahun 2019, proporsi jemaah berangkat dibanding jemaah tunggu sekitar 5%, satu per duapuluh, atau sekitar 214 ribu berbanding 4,3 juta jemaah. Idealnya, persentase nilai manfaat untuk subsidi jemaah berangkat dan yang dibagikan ke rekening virtual jemaah tunggu sesuai dengan proporsi tersebut. 

Saat mendaftar haji, jemaah diminta menandatangani akad wakalah yang memberi mandat secara syariah maupun hukum positif kepada BPKH, untuk menjadi wakil dalam mengelola setoran awal dan nilai manfaatnya (saldo setoran). Dalam akad tersebut, jemaah tidak memberi mandat dan amanat, serta tidak pula menyatakan keikhlasan sebagian nilai manfaat yang menjadi haknya digunakan untuk subsidi jemaah lainnya.

Untuk memenuhi prasyarat istitho’ah keuangan, setiap jemaah harus dipastikan mampu membayar secara penuh biaya riil haji. Apabila akumulasi saldo setoran lebih rendah dibanding biaya riil haji pada tahun keberangkatan, jemaah harus membayar kekurangannya melalui setoran lunas. Sebaliknya jika akumulasi saldo setoran jemaah lebih besar daripada biaya riil haji pada tahun keberangkatan, BPKH akan mengembalikan selisih lebihnya kepada jemaah tersebut. 

Pada Pasal 7 ayat (2) UU 34/2014, diatur skema pengembalian saldo setoran tersebut namun yang digunakan sebagai rujukan adalah biaya haji per jemaah yang ditetapkan pada tahun berjalan (Bipih/direct cost), bukan biaya riil haji. 

Berkenaan dengan istitho’ah keuangan berupa kewajiban memenuhi biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan, pemenuhan prasyarat tersebut diukur sendiri oleh jemaah berdasarkan standar biaya hidup dan jumlah keluarga dari jemaah yang bersangkutan.

Simulasi Perhitungan

Untuk memberi gambaran akumulasi saldo setoran jemaah dan menentukan ukuran istitho’ah keuangannya, dibuat simulasinya dalam table berikut. 

Dalam simulasi digunakan asumsi pembagian ke rekening virtual jemaah setiap tahun dengan skenario imbal hasil setara: 4% net, 5% net, 6% net, atau 7% net. Sedangkan untuk biaya riil haji per jemaah digunakan dasar pada tahun 2019 sebesar Rp70 juta dengan asumsi terdapat kenaikan sebesar 1% per tahun.

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Berdasarkan simulasi tersebut, dengan asumsi pembagian VA sebesar 4% net per tahun, akumulasi saldo setoran selama 30 tahun akan berjumlah Rp81,08 juta. Biaya riil haji pada tahun ke-30 telah naik menjadi Rp94,35 juta, sehingga untuk memenuhi prasyarat istitho’ah keuangan, jemaah masih harus membayar setoran lunas sekitar Rp13,26 juta.

Jika digunakan asumsi pembagian VA sebesar 5% net, pada tahun ke-30 jemaah akan memiliki akumulasi saldo setoran sebesar Rp108,05 juta melebihi biaya riil haji sebesar Rp94,35 juta. Sehingga jemaah tersebut telah memenuhi prasyarat istitho’ah keuangan, bahkan akan mendapat pengembalian setoran dari BPKH sekitar Rp13,7 juta.

Apabila digunakan asumsi pembagian VA sebesar 7% net, pada tahun ke-18 akumulasi saldo setoran jemaah sudah melebihi biaya riil haji, bahkan pada tahun ke-30 akumulasi saldo setoran jemaah dapat mencapai lebih dari dua kali lipat dari biaya riil haji.

Simpulan

Penetapan jumlah dan porsi biaya yang harus dibayar jemaah (Bipih) dan subsidi, sejauh ini masih belum memperhatikan prasyarat istitho'ah keuangan. Pendanaan subsidi bersumber dari nilai manfaat pengelolaan setoran awal yang menjadi hak jemaah berangkat dan jemaah tunggu. Pemberian bantuan pemenuhan istitho’ah keuangan melalui subsidi biaya haji untuk jemaah berangkat tersebut belum banyak diketahui dan dipahami oleh jemaah, serta berpotensi menyalahi akad wakalah yang telah mereka tandatangani.

Kebijakan penetapan biaya haji yang dibayar jemaah perlu mulai mempertimbangkan kesesuaiannya dengan biaya haji riil. Berdasarkan hasil simulasi, jikalaupun setoran awal jemaah mendapat pembagian VA selama 30 tahun dengan imbal hasil setara 4% net per tahun, jemaah masih harus membayar setoran lunas sekitar Rp13,26 juta untuk memenuhi prasyarat istitho’ah keuangan mengingat biaya riil haji juga beranjak naik. 

Namun jika digunakan asumsi pembagian ke rekening virtual sebesar 7% net per tahun, pada tahun ke 18 saldo setoran jemaah sudah melebihi biaya riil haji sehingga jemaah tidak perlu membayar setoran lunas bahkan akan mendapat pengembalian dana dari BPKH.  

Prosesi ibadah haji sebagain besar dilaksanakan di Arab Saudi dan sekitar 90% dari biaya dibayarkan dalam US$ dan SAR. Dengan memperhatikan tingkat inflasi negara kita yang relatif lebih tinggi dibanding inflasi di Arab Saudi, dan rata-rata penurunan nilai Rupiah terhadap US$ dan SAR sekitar 2% per tahun, merupakan suatu keniscayaan biaya haji dalam rupiah akan mengalami kenaikan setiap tahunnya. 

Belum lagi apabila terdapat penambahan jumlah dan jenis layanan bagi jemaah haji. Kenaikan biaya akibat perkembangan makro ekonomi dan penambahan layanan tersebut sudah selayaknya menjadi biaya yang dibayar langsung oleh jemaah.

Perspektif untuk mengukur istitho’ah keuangan, selain agar konsisten dengan pengujian istitho’ah kesehatan, juga dimaksudkan untuk menggugah kesadaran dan menyodorkan wacana guna pembahasan dan diskusi lebih lanjut menuju struktur biaya haji yang lebih wajar, adil, dan transparan, guna meningkatkan rasionalitas dan efisiensi biaya haji, serta menjaga sustainabilitas keuangan haji. Wallahu A'lam Bish Shawab. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun