Mohon tunggu...
Hari Prasetya
Hari Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge Seeker

Mengais ilmu dan berbagi perenungan seputar perbankan, keuangan, dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tipologi Berhaji

18 September 2021   05:25 Diperbarui: 18 September 2021   05:33 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inti dari pelaksanaan ibadah haji adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah. Adanya ketetapan waktu dan keterbatasan tempat wukuf tersebut mengakibatkan jumlah jemaah haji untuk masing-masing negara dibatasi dengan kuota. Hal tersebut berbeda dengan ibadah umroh yang waktu pelaksanaannya bisa lebih leluasa dan tidak terpusat pada satu tempat pada waktu tertentu.

Perbaikan tingkat kesejahteraan yang diikuti dengan peningkatan keinginan setiap muslim untuk menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima di satu sisi, dan adanya batasan kuota yang relatif tetap di sisi lainnya, telah menyebabkan daftar tunggu haji menjadi semakin bertambah.

Pada masyarakat daerah atau etnis tertentu, keinginan untuk berhaji tidak selalu berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut. Berhaji bukan hanya dipandang sebagai pelaksanaan kewajiban agama semata, melainkan lebih dikaitkan dengan status sosial, tradisi, adat, atau kebanggaan. 

Sehingga meski tingkat kesejahteraan masyarakat tidak tinggi, mereka memiliki semangat dan dorongan yang luar biasa kuat untuk berhaji, sebagai misal etnis Bugis, Mandar, atau Madura. Hal tersebut terindikasi dari panjangnya masa tunggu haji di daerah tersebut.

Dorongan mendaftar haji lebih awal juga dipengaruhi oleh adanya pemahaman bahwa tidak sah atau tidak afdol melaksanakan ibadah umroh yang sifatnya sunnah sebelum berniat haji yang sifatnya wajib yang diwujudkan dengan mendaftar haji.

Tipologi Menurut Geert

Menurut Clifford Geert dalam bukunya Religion of Java, ritus berhaji masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga tipe: anak muda, pensiunan, dan usia lanjut.

Tipe Pertama, bagi anak muda, ibadah haji dipandang sebagai fase penutup ideal setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren atau sekolah yang sekaligus menandai akhir masa remaja. Jika seorang remaja sudah berhaji berarti ia telah memiliki status baru, yang dipertegas dengan penggantian nama dan sebutan baru yang diperoleh sekembalinya dari tanah suci, beserta segala atribut yang disandangnya.

Tipe Kedua, bagi pensiunan, melaksanakan ibadah haji menjelang memasuki masa pensiun dari pekerjaan formal sebagai pegawai atau pengusaha. Pada kelompok ini, termasuk pula yang melakukan ibadah haji dengan pertimbangan setelah anak-anaknya menginjak dewasa, sudah menikah, atau terpisah rumah.

Tipe Ketiga, kelompok usia lanjut yang melaksanakan ibadah haji sebagai fase akhir dari perjalanan hidupnya yang panjang dalam mengabdikan diri pada kehidupan keduniawian dan akan memasuki fase kekhusukan pada kehidupan keagamaan.

Tipologi hasil penelitian Clifford Geert pada tahun 1952 – 1954 di Jawa Timur tersebut dengan pendekatan sosio-kultural dan dilakukan ketika belum ada kesenjangan waktu antara niat berhaji dengan pelaksanaan keberangkatannya. Sehingga ketika seseorang berniat haji dan mampu dari segi keuangan, maka pada tahun itu juga dia dapat berangkat haji.

Saat ini dengan kuota haji yang terbatas dan masa tunggu haji yang relatif lama di beberapa daerah, seorang yang berniat haji untuk mengakhiri masa remajanya bisa jadi baru akan berangkat haji ketika sudah menjelang pensiun. Sedangkan yang mendaftar haji menjelang pensiun, mungkin baru akan berangkat haji ketika telah memasuki usia jompo dan mulai pikun.

Berdasarkan hal tersebut, seorang muslim perlu mempersiapkan diri dan membuat perencanaan dalam melaksanakan kewajiban berhaji, yang meliputi perencanaan pemenuhan kemampuan kesehatan dan keuangannya.

Tipologi Menurut Hadist

Selain berdasarkan tipologi Geert tersebut, tipologi berhaji juga dapat kita rujuk pada hadist Nabi SAW yang memaparkan potensi penyimpangan niat dan motivasi seseorang dalam menjalankan ibadah haji. 

Rasulullah SAW bersabda “Akan datang suatu masa yang dialami umat manusia, yaitu orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena riya' dan sum'ah, dan kaum fakir di antara mereka (niatnya) karena untuk meminta-minta.” (HR. Ibnu Jauzi).

Hadis tersebut memberi kita peringatan agar selalu menjaga niat, motivasi, sikap, dan perangai kita sebelum, selama, dan setelah menjalankan ibadah haji, agar tidak terjerumus pada tipologi berhaji yang disebutkan oleh Nabi SAW dalam hadist tersebut.

Tipe Pertama, berhaji untuk berwisata, yakni seseorang yang melaksanakan ibadah haji bertujuan untuk rekreasi menghilangkan kepenatan dan aktivitasnya di tanah suci, di luar pelaksanaan rukun dan wajib haji, lebih bersemangat mengunjungi tempat wisata daripada beribadah ke masjid.

Tipe Kedua, berhaji untuk berdagang, yakni seseorang yang menunaikan ibadah haji bertujuan untuk berbelanja atau membeli belah, sehingga aktivitasnya selama di tanah suci, di luar pelaksanaan rukun dan wajib haji, lebih banyak berkeliling pusat perbelanjaan dan mall daripada beribadah kepada Allah SWT.

Tipe Ketiga, berhaji untuk riya' dan sum'ah, yakni seseorang yang melaksanakan ibadah haji sekadar untuk mengejar status sosial di masyarakat berupa gelar haji. Orang tersebut sepulang haji akan mudah tersinggung jika tidak disebutkan gelar hajinya.

Tipe Keempat, untuk meminta-minta, yakni kalangan fakir yang berangkat ke tanah suci pada musim haji untuk mengharap belas-kasihan dengan harapan dapat mengumpulkan harta yang banyak ketika kembali.

Balasan amalan seseorang itu akan berdasarkan pada niatnya sehingga dia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya, setiap perbuatan bergantung niatnya. Dan, sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Seseorang yang pergi haji atas dasar iman dan ikhlas semata karena Allah SWT, tidak berbuat rafats, tidak berbuat fusuk, dan tidak melakukan jidal selama haji, niscaya dia akan meraih predikat haji mabrur yang balasannya adalah surga. Oleh karenanya, setiap calon jemaah haji harus senantiasa menjaga dan memperbaharui niatnya agar tidak terjerumus pada tipologi haji yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut. Wallahu A'lam Bish Shawab. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun