Mohon tunggu...
Hari Prasetya
Hari Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge Seeker

Mengais ilmu dan berbagi perenungan seputar perbankan, keuangan, dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Bail-out, Bail-in, dan CoCos"

9 Maret 2018   06:19 Diperbarui: 9 Maret 2018   07:36 4027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.intermarketandmore.com

Dalam beberapa waktu terakhir, kita sering membaca dan mendengar berita di media massa yang memuat pernyataan bahwa pelaksanaan resolusi bank ke depan akan menggunakan bail-in dan tidak lagi menggunakan bail-out. Pada paparan berikut akan dibahas mengapa bail-out perlu dihindari, bagaimana konsep dan mekanisme bail-in, serta apa pula itu CoCos.  

Berkaca pada pengalaman krisis 2008, otoritas perbankan di dunia telah menyepakati untuk membatasi moral hazard bagi bank sistemik dan mengakhiri konsep Too Big To Fail. Resolusi bank sistemik harus diupayakan agar memenuhi tujuan utama, yakni: (1) meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, (2) menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritikalnya (critical functions), dan (3) menghindari penggunaan uang negara.

Bail-out sering dipahami sebagai upaya penyelesaian permasalahan bank dengan menggunakan sumber pendanaan dari luar bank (bailing from outside), dalam hal ini digunakan uang negara (public fund, taxpayer money) karena dalam kondisi krisis sumber pendanaan dari sektor swasta relatif terbatas.

Bail-out perlu dihindari dengan pertimbangan antara lain: (1) Penggunaan uang negara dalam penyelamatan bank menimbulkan ketidak-adilan, hingga memunculkan ungkapan sinis “privatize profits, socialize losses” yang maksudnya “untungnya dinikmati sendiri, giliran rugi dibagi ke masyarakat”; (2) Bail-out dapat mendorong moral hazard bagi pemegang saham dan kreditur bank, karena mereka dapat terhindar dari kerugian, bahkan mungkin mendapat keuntungan; dan (3) Bail-out dapat mengganggu kompetisi yang wajar (fair) antara bank penerima bail-out dengan bank dan pelaku pasar lainnya.

Sedangkan bail-in merupakan skema penyelesaian permasalahan bank dengan menggunakan sumber pendanaan dari dalam bank sendiri yang berasal dari pemegang saham dan/atau kreditur bank (bailing from inside), karena mereka yang menikmati ketika bank meraih keuntungan. Bail-out dan bail-in memiliki kesamaan keduanya dilaksanakan setelah bank mengalami kegagalan, memenuhi kriteria Failing or Likely to Fail (FOTL), atau mencapai Point of Non Viability (PoNV).

CoCos vs Bail-In

Sebelum membahas lebih jauh mengenai mekanisme bail-in, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai CoCos mengingat kedua istilah tersebut sering disalah-pahami dan dipertukarkan pengertiannya. CoCos kependekan dari contingent convertible securities, yakni surat utang yang diterbitkan bank yang didalamnya terdapat klausul dapat dikonversi menjadi modal. CoCos umumnya tidak memiliki masa jatuh tempo (perpetual). 

Konversi CoCos menjadi modal bank dilakukan ketika pemicu tertentu yang ditetapkan sebelumnya (pre-specified trigger) terlampaui. Pemicu tersebut dapat menggunakan capital-based trigger, misalnya rasio permodalan (CAR); atau market-based trigger, misalnya harga saham bank.

Capital-based trigger merupakan pemicu yang paling banyak digunakan dalam penerbitan CoCos saat ini, karena penerbitan CoCos memang dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya permasalahan permodalan bank. Sesuai Basel III, bank sistemik diharapkan memiliki bantalan permodalan yang lebih tebal dan didorong menerbitkan surat utang yang memiliki klausul dapat dikonversi menjadi modal. CoCos memenuhi kriteria dan dihitung sebagai modal inti tambahan (AT1) dengan syarat surat utang tersebut memiliki pemicu berupa rasio CAR paling kurang 5,125%. Bank dipandang gagal atau insolvent jika memiliki rasio CAR kurang dari 4,5%.

Berbeda dengan bail-in, konversi CoCos dilakukan ketika bank belum mencapai PoNV atau belum menjadi bank gagal. Konversi CoCos menjadi modal didasarkan pada kontrak/klausul yang tercantum dalam penerbitan surat utang tersebut. Oleh karenanya, CoCos disebut sebagai contractual bail-in. Dengan konversi tersebut, jumlah kewajiban bank akan berkurang dan rasio permodalan bank akan meningkat. Porsi kepemilikan pemegang saham lama bank akan mengalami penurunan (terdilusi).

Berdasar ketentuan Basel III, modal inti utama (CET1) dan modal inti tambahan (AT1) merupakan bantalan untuk menyerap kerugian bank dengan basis going concern (going-concern loss-absorbing capacity). Oleh karenanya, CoCos termasuk going-concern contingent capital dan pelaksanaan konversinya dapat merupakan bagian dari recovery plan. Dengan konversi CoCos dan pelaksanaan recovery plan diharapkan bank dapat sehat dan pulih kembali.

Dengan adanya risiko terkonversi menjadi modal, CoCos memiliki imbal hasil yang lebih tinggi dibanding dengan surat utang biasa (bail-in risk premium). Semakin tinggi tingkat pemicunya, semakin besar pula imbal hasil yang diminta kreditur/investor CoCos tersebut, karena probabilitas terkonversinya semakin besar. Meski mahal, CoCos memiliki kelebihan karena dicatat bank sebagai utang sehingga bunga yang dibayar termasuk tax deductible. Bank juga tidak membayar deviden sebagaimana dalam penerbitan saham biasa.

Mekanisme Bail-In

Apabila konversi CoCos dan pelaksanaan recovery plan tidak efektif menyelesaikan permasalahan bank dan kondisi bank semakin memburuk hingga mencapai FLTF/PoNV, maka resolution plan akan teraktivasi. PoNV dapat menjadi pemicu pelaksanaan bail-in oleh otoritas resolusi. Pelaksanaan bail-in menjadi regulatory discretion dan merupakan kewenangan resolusi (resolution tools). 

Bail-in merupakan tindakan menyerap kerugian (loss-absorbing) dan melakukan rekapitalisasi (recapitalization) bank dengan cara menghapuskan sebagian/seluruh modal dan kewajiban (write-down) dan/atau mengubah sebagian/seluruh kewajiban (convert) menjadi modal. Pelaksanaan bail-in dapat menjadi bagian dari resolution plan.

Sesuai Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions #5 – Safeguards, pelaksanaan resolusi harus memperhatikan prinsip “respect creditor hierarchy” dan “No Creditors Worse Off than in Liquidation (NCWOL)”. Pembebanan kerugian bank harus memperhatikan creditor hierarchy di mana pemegang saham merupakan pihak pertama yang harus menyerap kerugian, diikuti pemegang hybrid capitals, subordinate debts, selanjutnya pemegang senior unsecured debts, dan dapat pula termasuk nasabah penyimpan yang simpanannya melebihi penjaminan. 

Simpanan yang dijamin secara tegas dikecualikan dari bail-in. Kreditur dengan kategori atau kelas yang sama harus mendapat perlakuan yang sama pula.

Dalam pelaksanaan bail-in, pemegang saham lama dapat kehilangan seluruh kepemilikan sahamnya jika kerugian bank lebih besar daripada modalnya. Sedangkan kreditur akan menanggung kerugian dari konversi tagihannya menjadi modal bank dan/atau penghapusan sebagian/seluruh pokok tagihannya (principal write down). Sesuai prinsip NCWOL, dalam pelaksanaan resolusi harus dipastikan tidak ada kreditur yang memperoleh hasil pengembalian (recovery) yang lebih buruk dibandingkan jika terhadap bank dilakukan likuidasi.

Bail-in memiliki tujuan memperbaiki permodalan bank (solvency) melalui penyerapan kerugian dan rekapitalisasi bank gagal yang dananya bersumber dari pemegang saham dan kreditur bank. Sedangkan untuk menjaga stabilitas sistem perbankan dan mempertahankan keberlangsungan fungsi kritikal bank (viability), bail-in perlu dilengkapi upaya resolusi lain, misalnya restrukturisasi aset dan operasional bisnis bank.

Pada dasarnya terdapat dua tipe bail-in, yakni: (1) Open bank bail-in, yakni pelaksanaan bail-in dilakukan dengan melakukan rekapitalisasi terhadap bank gagal yang dipertahankan tetap beroperasi; dan (2) Closed bank bail-in, yakni pelaksanaan bail-in dilakukan dengan membentuk bank perantara untuk menerima pengalihan sebagian aset/kewajiban bank gagal dan kemudian dilakukan rekapitalisasi terhadap bank perantara tersebut, sementara bank gagal dilikuidasi. Pemilihan jenis dan jumlah aset dan kewajiban yang dialihkan ditetapkan oleh otoritas resolusi.

Beberapa negara telah menetapkan tipe bail-in yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan, sementara beberapa negara lainnya membuka kedua pilihan tersebut sesuai dengan kondisi dan permasalahan masing-masing bank. Amerika Serikat lebih memilih menggunakan closed bank bail-in yang dipandang selaras dengan pemilihan strategi resolusi Single Point of Entry, sedangkan Italia, Swiss, dan Inggris memiliki pilihan utama menggunakan open bank bail-in.

Ilustrasi Open Bank Bail-in

Sumber: FSB, diolah
Sumber: FSB, diolah
Ilustrasi Close Bank Bail-in

Sumber: FSB, diolah
Sumber: FSB, diolah
Pelaksanaan open bank bail-in dipandang relatif lebih mudah dan cepat, namun dalam proses ini tidak ada pemisahan aset yang berkualitas baik (good asset) dari aset yang bermasalah (bad asset) yang dapat berpotensi menimbulkan permasalahan pada bank di kemudian hari. 

Sedangkan dalam closed bank bail-in diperlukan beberapa tindakan tambahan yang meliputi antara lain: pendirian dan pemberian izin bank perantara, pemilihan dan pengalihan aset dan kewajiban dari bank gagal, pemilihan pengurus bank perantara, dan penjualan bank perantara. Meski terdapat proses tambahan, pilihan terakhir ini akan menghasilkan bank baru yang lebih sehat karena hanya mengelola aset yang berkualitas baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun