Sedangkan akad kafalah merupakan suatu bentuk kontrak penjaminan yang secara bahasa memiliki arti a-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za'amah (tanggungan). Pada akad ini, penjamin menjanjikan akan memenuhi hal yang diperjanjikan kepada pihak terjamin. Dalam sejarah, akad ini sering digunakan untuk jaminan pembayaran hutang, jaminan pengembalian barang, dan/atau jaminan menghadirkan orang.
Pada akad kafalah, penjamin simpanan (kafil) memberikan jaminan atas pembayaran kembali simpanan sampai jumlah tertentu kepada nasabah penyimpan (makfuul lahu) dalam hal bank (makfuul 'anhu) tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dicabut izinnya. Sebagai imbalan atas pemberian jaminan tersebut, bank membayar fee (ujroh) secara periodik. Dengan adanya fee (ujroh) tersebut, akad ini disebut pula sebagai kafalah bil ujroh.
Mengacu pada praktek di masa lalu, sebagian ahli syariah berpandangan pembayaran fee (ujroh) atas akad kafalah tersebut tidak diperbolehkan mengingat tujuan akad tersebut untuk kebaikan dan tolong menolong semata. Sementara sebagian lainnya, termasuk DSN, berpandangan dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima fee (ujroh) sepanjang tidak memberatkan pihak terjamin (Fatwa No: 11/DSN-MUI/IV/2000).Â
Untuk memenuhi unsur tidak memberatkan, besarnya fee (ujroh) harus mempertimbangkan beban riil yang harus ditanggung oleh penjamin dalam melaksanakan penjaminan tersebut. Akumulasi fee (ujroh) yang dibayar bank peserta sepenuhnya menjadi milik penjamin simpanan. Malaysia Deposit Insurance Corporation menggunakan pendekatan akad kafalah bil ujroh ini.
Akad lain yang dapat diterapkan dalam sistem penjaminan simpanan syariah adalah dharibah, yang secara bahasa diterjemahkan sebagai pajak. Dalam akad ini, penjamin simpanan diposisikan sebagai unsur Pemerintah atau negara yang diberi kewenangan untuk menjamin simpanan dengan memungut premi kepada bank peserta penjaminan.Â
Pemberian wewenang memungut premi penjaminan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemaslahatan kepada nasabah penyimpan berupa perlindungan atas keamanan simpanannya di bank syariah dan terciptanya stabilitas sistem perbankan syariah.
Selain akad tabarru, kafalah, dan dharibah, penggunaan akad lain yang sesuai syariah dapat pula dikaji untuk dapat diterapkan sesuai kondisi masing-masing negara.
(2) Pengelolaan Dana Penjaminan
LPS telah membayar klaim penjaminan terhadap simpanan pada beberapa BPR Syariah yang dicabut izin usahanya. Nasabah penyimpan pada BPR Syariah tersebut tentu berharap pembayaran klaim penjaminan yang diterima berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan hasil kelolaan dana yang sesuai prinsip syariah. Sampai saat ini, pengelolaan dana penjaminan dari penerimaan premi sampai pembayaran klaim penjaminan belum dipisahkan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah.Â
Sehingga ketika LPS membayar klaim penjaminan kepada nasabah bank syariah yang dicabut izinnya, tidak dapat dipastikan apakah dana yang digunakan berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan/atau hasil investasi yang sesuai prinsip syariah. Meskipun saat ini LPS telah menempatkan dananya pada surat berharga negara syariah (Sukuk) yang nilainya melebihi jumlah seluruh premi penjaminan yang diterima dari perbankan syariah.
Belum diterapkannya sistem penjaminan terpisah tersebut mempertimbangkan antara lain masih relatif sedikitnya jumlah bank syariah, atau relatif kecilnya porsi aset/simpanan perbankan syariah dibanding aset/simpanan perbankan nasional.Â