Mohon tunggu...
Indrati Harimurti
Indrati Harimurti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mak ne Si Nang, isaku iki

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Anakku Tidak Naik Kelas?

21 Juni 2011   05:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  [caption id="attachment_115246" align="aligncenter" width="188" caption="(pinjam dari zulmari wordpress)"][/caption]

Tidak seperti biasanya sore ini Lek Giman melamun sendiri di samping rumah sambil menikmati rokoknya yang sudah mau habis. Ada sedikit semburat kesedihan di wajahnya. Kerja kerasnya  dari merantau sepertinya sudah luntur sia-sia karena apa yang dihasilkan untuk membiayai anaknya tidak berbuah baik.

 

Bunyi telepon istrinya membuat hatinya sedih dan merana. Danang tidak naik kelas lagi. Seharusnya dia sudah duduk di kelas empat. Tetapi Danang yang berusia 10 tahun ini harus tetap duduk di kelas 2 SD. Di kelas satu sudah pernah tinggal kelas sekali dan di kelas dua ini untuk yang kedua kalinya.

 

Apakah hukum karma ? Pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan tetangganya. Lek Giman adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Anak lelaki yang paling dimanja dibandingkan kakaknya. Semua kebutuhan selalu terpenuhi. Sepatu dari merek Kikcker dikoleksinya. Belum lagi jam-jam merek ternama. Sepeda motor yang masa itu adalah barang mewah, Lek Giman dengan bangga selalu memakainya dalam keadaan mabuk, lewat gang pun, motor digas kencang-kencang. Hingga suatu ketika karena keluar dari pekerjaan di kontraktor, Simbah memarahi Lek Giman. Mencari pekerjaan susah kok keluar begitu saja. Dan akhirnya ijasah SMA pun disobek-sobek Lek Giman dihadapan Simbah. Simbah hanya tertegun dan mengelus dada.

 

Istri Lek Giman orang yang sabar. Tinggal di pedesaan di tempat bapak dan ibunya, sambil bekerja di tempat pembuatan tempe kedelai di desanya. Setiap pertengkaran istrinya selalu mengalah dan mengalah. Lek Giman sendiri merantau di kota dan tinggal di salah satu rumah saudaranya. Pekerjaan yang dilakukan tergolong serabutan dari jualan es keliling, kemudian membantu menjemur ikan dengan gaji 25 ribu per hari belum termasuk uang makan, hingga menjadi kenek bangunan dengan gaji 40 ribu semua dilakukan bila ada kesempatan.

 

"Kok, ndak pengen pulang to Lek? Siapa tahu Danang bisa terhibur." Sapaan saudaranya tak membuat Lek Giman bergeming dari tempat duduknya. Pulang ke mertuanya justru akan menambah runyam. Di tempat mertuanya, tidak hanya istri dan anaknya, tetapi tinggal satu keluarga iparnya, dan rumah iparnya yang lain saling bersebelahan. Lek Giman ini sepertinya kurang disukai oleh ipar dan mertuanya. Begitupun Lek Giman. Dia merasa keluarga istrinya selalu mencampuri urusan keluarganya.

 

Lek Giman jarang sekali mudik. Bisa dikatakan sebulan sekali itu sudah bagus. Yang paling sering istrinya datang ke tempat Lek Giman, meminta jatah bulanan. Wajar jika anak-anak Lek Giman merasa jauh dari ayahnya baik dari perhatian dan kasih sayang. Yang membuat Lek Giman heran, ketika mudik, Danang selalu memperlihatkan begitu semangatnya belajar. Tapi setelah itu tidak tahu. Dan hasilnya seperti saat ini tidak naik kelas lagi.

 

Sampai saat ini masih belum ada solusi bagaimana supaya Danang tidak tinggal kelas lagi. Karena Lek Giman sendiri orang yang susah menerima masukan. Yang selalu dia salahkan adalah keluarga istrinya bukan dirinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun